Kamis 09 Mar 2017 09:00 WIB

Standardisasi Pesantren (3)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Jika berbagai 'anak' lembaga pendidikan (sekolah Islam, madrasah, sampai perguruan tinggi) di lingkungan ponpes sebagai 'institusi induk' telah mengikuti kurikulum yang ditetapkan Kemendikbud, Kemenag, dan Kemenristekdikti, pertanyaannya, kurikulum mana yang mau distandardisasikan?

Dari percakapan lewat media (Republika 9, 10 dan 11 Februari 2017), tampaknya 'kurikulum' pesantren yang ingin distandardisasikan adalah 'kurikulum' ponpes 'salafiyah'.

Dalam wacana yang berkembang, ponpes salafiyah dimaksudkan sebagai ponpes yang substansi dan program pendidikannya sebagian besar berpusat pada tafaqquh fid-din -mendalami berbagai ilmu-ilmu agama Islam melalui kajian kitab kuning.

Kurikulum ponpes salafiyah umumnya juga mencakup subjek umum dasar semacam matematika, IPS, PKN atau bahasa Inggris. Secara asumtif, jumlah ponpes salafiyah dengan tafaqquh fid-din agaknya cenderung berkurang.

Asumsi ini didasarkan gejala dan kecenderungan meningkatnya jumlah lembaga 'pendidikan umum' (sekolah dan madrasah bercirikan Islam) di lingkungan lembaga induk ponpes. Tetapi, menurut data Kemenag, ponpes Salafiyah tetap bertahan dalam jumlah signifikan.

Pada 2013/2014 ada 27.229 ponpes di seluruh Indonesia. Hampir separuh jumlah itu adalah ponpes salafiyah (13.336 atau 48,87 persen). Sedangkan ponpes yang menyelenggarakan 'pendidikan umum plus (sekolah Islam dan/atau madrasah) -biasa juga disebut ponpes 'khalafiyah' atau 'moderen' berjumlah 13.893.

Di tengah berbagai perubahan dan tantangan yang terus meningkat, pesantren -seperti tahun-tahun sebelumnya- tidak berkurang. Sebaliknya jumlah ponpes senantiasa bertambah. Ini terlihat dari kenyataan, jumlah ponpes pada 2014/2015 meningkat menjadi 28.961.

Dari jumlah itu, ternyata jumlah ponpes salafiyah lebih besar daripada ponpes khalafiyah; kelompok pertama berjumlah 15.057 dan kelompok kedua sebanyak 13.904.

Dengan bertahan atau bahkan meningkatnya jumlah ponpes salafiyah tafaqquh fid-din Aswaja (NU) dan Ahlussunnah waljamaah lain (Muhammadiyah, Jam'iyatul Wasliyah, Perti, Mathla'ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, al-Khairat dan seterusnya), hari ini dan masa depan Islam Indonesia wasathiyah tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Dengan jumlah begitu banyak, ponpes salafiyah Ahlusunnah waljamaah, terlalu besar untuk bisa dikalahkan ponpes 'salafi' (berpaham salafi atau wahabi) yang juga bertumbuh belakangan ini. Dalam konteks lebih luas; 'Indonesian wasathiyah Islam is too big to fail' menghadapi tantangan pemahaman dan praksis keislaman literal dan rigid.

Kembali ke soal standardisasi kurikulum, apakah ponpes salafiyah memerlukannya? Penulis Resonansi ini berpendapat tidak perlu. Sebaliknya ponpes salafiyah tafaqquh fid-din perlu memperkuat dan memperkaya kurikulum yang dirumuskan dan diterapkan kiai dan guru pengasuh selama berpuluh tahun, jika tidak berabad-abad.

Mereka paling mengetahui, kurikulum tafaqquh fid-din apa paling cocok dengan bidang kepakaran kiai, misalnya sejak dari bahasa Arab (nahwu/sharaf), fikih, ushul fikih, ulumul Quran, tafsir, dan seterusnya).

Kepakaran kiai dan pengasuh diwariskan kepada santri, sehingga mereka memiliki bekal keilmuan Islam memadai untuk menjadi kiai atau ulama kelak. Dengan begitu pula mereka dapat menjaga dan mengembangkan tradisi keilmuan-keislaman Indonesia.

Di sinilah ponpes salafiyah tafaqquh fid-din dapat mengembangkan distingsi dan kekuatan keilmuan masing-masing. Karena itu, ada ponpes yang masyhur karena ilmu alat, ulumul Quran dan tafsir, ulumul hadis, fikih, dan usul fikih misalnya.

Orang tua santri dapat mengirim anak mereka ke ponpes tertentu sesuai bakat dan minat anak. Sekali lagi, ponpes tafaqquh fid-din tidak memerlukan standardisasi kurikulum. Biarlah kiai dan pengasuh memilih kitab kuning apa saja yang mesti dipelajari para santri.

Tak perlu formalisme silabus baku yang membelenggu. Apalagi Menag dan kemudian juga Mendikbud sejak menjelang akhir 1990-an telah memberlakukan mu'adalah atau penyetaraan atas kurikulum yang dikembangkan ponpes dalam waktu sangat lama.

Proses penetapan kebijakan mu'adalah (setara madrasah aliyah atau SMA) dimulai dengan pengakuan atas 'kurikulum' Pondok Moderen Gontor oleh Dirjen Binbaga Islam (1998) dan Mendiknas (2000). Sejak itu kian banyak ponpes mendapat muadalah. Namun beberapa tahun lalu, Dirjen Binbaga Islam berencana mencabut mu'adalah dan mewajibkan ponpes mengadopsi kurikulum nasional. Tetapi, rencana itu gagal karena oposisi para kiai yang didukung pemikir dan praktisi pendidikan Islam lain.

Dengan mu'adalah lulusan ponpes tidak perlu lagi mengikuti 'ujian negara' untuk kemudian dapat diterima, misalnya di perguruan tinggi mana pun. Kalau begitu, masih perlukah standardisasi kurikulum pesantren salafiyah tafaqquh fid-din. Silakan jawab sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement