Rabu 08 Mar 2017 17:45 WIB

Curahan Hati Suku Kamoro yang Sungainya Tercemar Limbah Freeport

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Andi Nur Aminah
Perwakilan masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro, dua suku yang terdampak aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia, melakukan dialog dengan Kementerian ESDM. Rabu (8/3).
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Perwakilan masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro, dua suku yang terdampak aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia, melakukan dialog dengan Kementerian ESDM. Rabu (8/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sebanyak 21 perwakilan dari masyarakat adat Suku Amungme dan Suku Kamoro diundang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyampaikan pemikiran dan pengalaman mereka terkait aktivitas pertambangan yang dilakukan PT Freeport Indonesia selama ini. Hasil "curahan hati" dari masyarakat adat, rata-rata dari mereka justru mendorong pemerintah menghentikan operasi pertambangan PTFI di Tembagapura, Mimika, Papua. 

Permintaan masyarakat adat untuk menghentikan kegiatan penambangan emas dan tembaga di Papua bukan tanpa alasan. Salah satu perwakilan dari Suku Kamoro, Alegonda, bercerita bahwa bentang alam dan kondisi lingkungan yang ada di sekitar Pegunungan Jaya Wijaya terutama di sekitar wilayah kerja PT Freeport Indonesia sudah berbeda sama sekali. 

Ia mengisahkan, dahulu masyarakat adat setempat terbiasa memanfaatkan hasil alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk ikan yang hidup di Sungai Ajkwa atau tanaman yang menghijau di bukit-bukti. Namun kini semuanya terpangkas menjadi jalan atau area operasional PT Freeport Indonesia. 

"Semua itu yang dulu dinikmati leluhur, sekarang tinggal sedikit. Saya minta Freeport ditutup. Saya minta perusahaan dan pemerintah kembalikan alam saya yang punah seperti dulu," ujarnya di depan sejumlah pejabat Kementerian ESDM yang mewakili Menteri ESDM Ignasius Jonan. 

Apalagi, lanjutnya, operasional PT Freeport Indonesia juga memotong jalur yang sebelumnya digunakan oleh masyarakat adat dalam melakukan transportasi atau distribusi kebutuhan sehari-hari. Kondisi saat ini, masyarakat harus berputar lebih jauh untuk bisa mengunjungi kota demi membeli kebutuhan pokok. 

"Transportasi saya dari kampung ke kampung atau ke kota tidak lagi berjalan baik. Saya tolong dengan hormat lestarikan lagi alam kami. Pohon sagu yang mati, hidupkan kembali untuk anak cucuk kami," ujarnya. 

Senada dengan Alegonda, perwakilan Suku Kamoro lainnya yakni Marselus Tumoka juga meminta operasional PTFI dihentikan. Ia mengungkapkan, masyarakat Suku Kamoro harus menanggung akibat dari pembuangan limbah tambang atau tailing pemrosesan konsentrat di sepanjang Sungai Ajkwa. Menurutnya, dalam membuang limbahnya Freeport tidak memisahkan antara limbah yang kotor dengan air yang kualitasnya masih bagus. 

"Tapi ini tidak, Freeport mengalirkan saja. Di sana ada ikan, ada biota yang rusak semua. Jadi kadang masyarakat yang bermukim di tempat itu, mereka memancing dan makan ikan yang tercemar limbah tambang," ujar Marselus. 

Marselus meminta pemerintah untuk turun ke lapangan untuk meninjau sendiri kondisi yang terjadi sebenarnya. Ia meminta secara khusus Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk bisa berkunjung langsung ke kediaman masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro yang lahannya terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan PTFI. 

"Amungme itu di atas gunung. Di laut pun sudah kering, mau menyebrang bawa hasil ke kota dia harus menunggu air naik lagi. Sangat membahayakan sekali. Kami berharap Freeport ditutup," katanya. 

Sebelumnya, VP Corporate Communication Freeport Riza Pratama mengungkapkan bahwa pengolahan limbah di kawasan operasi KK Freeport telah sesuai dengan Amdal yang dikeluarkan pemerintah. Belum lagi, Riza menambahkan, seluruh pengolahan bijih yang dilakukan melalui proses fisika saja, tanpa proses kimia. Sehingga tailing yang dibuang tidak berbahaya bagi lingkungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement