Selasa 28 Feb 2017 21:31 WIB

WGII Minta Revisi UU Konservasi Masukkan Peran Masyarakat Adat

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Hazliansyah
Suasana kondisi hulu sungai Cikamiri yang rusak akibat hujan deras di Pasirwangi, Kabupaten Garut. Salah satu pemicu banjir bandang di Kabupaten Garut dikarenakan area hulu sungai Cikamiri rusak terkena longsor sertt alih fungsi lahan konservasi menjadi pe
Foto: Mahmud Muhyidin
Suasana kondisi hulu sungai Cikamiri yang rusak akibat hujan deras di Pasirwangi, Kabupaten Garut. Salah satu pemicu banjir bandang di Kabupaten Garut dikarenakan area hulu sungai Cikamiri rusak terkena longsor sertt alih fungsi lahan konservasi menjadi pe

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Working Group ICCAs Indonesia (WGII) Kasmita Widodo meminta revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem memasukkan peran masyarakat hukum adat.

"Diharapkan memasukkan peran serta masyarakat hukum adat," kata dia dalam diskusi Konservasi Rakyat dalam Kebijakan Konservasi di Indonesia di Jakarta, Selasa (28/2).

Ia khawatir revisi UU Konservasi hanya mengakomodir keterlanjutan investasi bukan konservasi. Ia menegaskan, kebijakan konservasi harus merujuk pada praktik konservasi yang dilakukan rakyat dan masyarakat hukum adat. Alasannya, konservasi datang dari rakyat.

Widodo mengatakan, selama ini kebijakan pengelolaan kawasan konservasi masih menempatkan konservasi sebagai kewenangan dan kebijakan pusat. Kebijakan itu tidak memberikan ruang yang cukup pada masyarakat adat dan lokal untuk berperan aktif.

Widodo meyakini, pengakuan terhadap praktik konservasi oleh masyarakat ditujukan untuk menjaga kualitas dan efektivitas pengelolaan konservasi. Serta menurunkan konflik yang selama ini terjadi di kawasan konservasi.

Widodo mencontohkan sejumlah inspirasi konservasi yang berasal dari rakyat, yakni, Barong Karamaka (hutan keramat) di komunitas adat Ammatoa Kajang-Bulukumba, leuweung tutupan dan leuweung titipan di komunitas adat Kasepuhan-Lebak, Pangale kapali (hutan larangan yang tidak boleh dikunjungi) di komunitas adat Wanaposangke-Morowali.

Pun demikian dengan masyarakat yang hidup di kawasan perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang juga memiliki praktik pengelolaan dan perlindungan. Seperti Sasi Lompa di Haruku-Maluku, Lubuk Larangan di Kenegerian Batusonggan-Kampar, Awig-awig di Teluk Jor-Lombok Timur, perlindungan danau Empangau oleh masyarakat Desa Empangau di Kapuas Hulu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement