Senin 27 Feb 2017 23:45 WIB

Pakar: Larangan Cantrang Jangan Bersifat Menyeluruh

Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang di dermaga Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (11/2). Sejak dua pekan terakhir, nelayan jaring cantrang di daerah tersebut tidak berani melaut akibat pelarangan penggunaan jaring cantrang dan hela
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang di dermaga Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (11/2). Sejak dua pekan terakhir, nelayan jaring cantrang di daerah tersebut tidak berani melaut akibat pelarangan penggunaan jaring cantrang dan hela

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar kelautan dari Universitas Diponegoro Semarang Johannes Hutabarat menilai pelarangan cantrang tidak perlu bersifat menyeluruh, tetapi bisa disesuaikan dengan wilayah pengelolaan perikanan.

"Di wilayah perairan Indonesia kan dibagi dalam 11 wilayah perairan perikanan (WPP). Yang paling 'over fishing' memang Pantai Utara Jawa. Namun, tidak semuanya 'over fishing', masih ada WPP yang belum termanfaatkan optimal," katanya di Semarang, Senin (27/2).

Hal itu diungkapkannya saat Diskusi Publik dan FGD "Kembali ke Laut" yang digelar Kelompok Kerja Industri Perikanan, Maritim, dan Peternakan Komite Ekonomi dan Industri Nasional RI dan Majelis Pemberdayaan

Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah.

Sejalan dengan itu, kata dia, Menteri Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Permen KP Nomor 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPP Negara Republik Indonesia.

Namun, ia mengatakan Menteri KP kembali menerbitkan Permen KP Nomor 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan di WPP Negara Republik Indonesia yang mengatur jalur dan alat penangkapan ikan yang boleh beroperasi.

"Sekarang, bagaimana uji kelayakan penerapan Permen itu. Kami dari kalangan akademis siap mengkaji dampak, baik secara teknis, ekonomi, dan ekologis. Memang, cantrang itu secara teknis potensial karena bisa menangkap banyak ikan," katanya.

Akan tetapi, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip itu mengatakan secara ekologis perlu dikaji bagaimana ketersediaan sumber daya ikan dengan pengoperasian cantrang, sebab hasil kajiannya selama ini bervariasi.

"Alat penangkap ikan itu kan dibagi tiga, yakni statis, pasif, dan aktif. Untuk jenis aktif dilarang, seperti cantrang. Namun, ada nelayan yang mengatakan cantrangnya bersifat pasif karena sifatnya tidak menarik, tetapi melingkari," katanya.

Sebaiknya, kata dia, seluruh pihak harus mencari titik temu, dalam kaitan ini pemerintah, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan nelayan untuk menyelaraskan pemberlakuan ketentuan, termasuk mengenai pelarangan cantrang.

Kerja sama dengan kalangan perguruan tinggi, kata dia, diperlukan, misalnya untuk mengkaji ketersediaan sumber daya ikan di masing-masing WPP sehingga bisa diketahui WPP yang sudah "over fishing" dan yang belum termanfaatkan optimal.

"Bisa saja, misalnya nanti cantrang hanya dilarang di WPP tertentu, tetapi di WPP yan populasi ikannya belum 'over fishing' tetap diperbolehkan. Ya, memang harus ada kajian ketersediaan ikan di WPP. Kami siap melakukan kajian," pungkas Yohannes.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement