Jumat 24 Feb 2017 08:14 WIB

Boricha, Chosŏn-ot, Trik Pyongyang

Kim Jong-nam (depan, kanan) duduk di samping ayahnya, pemimpin Korea Utara Kim Jong-il bersama keluarganya dalam foto yang diambil pada 1981.
Foto: Telegraph
Kim Jong-nam (depan, kanan) duduk di samping ayahnya, pemimpin Korea Utara Kim Jong-il bersama keluarganya dalam foto yang diambil pada 1981.

Oleh: Selamat Ginting*

Sore hari pada pertengahan Juni 2010, telepon genggam saya berbunyi. Saat itu saya sedang di ruangan redaksi, membaca sejumlah naskah surat pembaca untuk Republika, terkait dengan Piala Dunia 2010.

Seseorang menyapa ramah dan memperkenalkan diri sebagai staf Kedutaan Besar Republik Demokratik Rakyat Korea (RDRK) atau Korea Utara di Jakarta. Ia mengaku mendapatkan nomor saya dari seseorang yang kenal lama dengan saya. Ia menyebut satu nama. Betul saya memang mengenalnya. Senior di kampus FISIP Universitas Nasional, Jakarta.

“Boleh saya bertemu dan berkenalan dengan Anda?” katanya dengan aksen yang agak cadel dan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Lalu saya menjawab, “Saya akan membalas lewat sms dan email,” kata saya sambil menutup pembicaraan.

Bagi saya ada kejanggalan-kejanggalan saat membaca naskah surat pembaca dan telepon kali ini. Seperti ada sebuah hubungan. Karena itulah saya menjawab dengan kalimat tersebut.

Aneh, kok banyak pembaca Republika yang mendukung tim sepakbola Korea Utara di Piala Dunia. Sejak kapan telinga orang Indonesia akrab dengan tim sepakbola negeri komunis tersebut? Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa pengirimnya adalah nama-nama palsu. Kemungkinan pengirimnya adalah intelijen negeri tersebut.

Saya memang bukan wartawan olahraga, namun jika ada acara pesta olahraga tingkat dunia, biasanya menawarkan diri menjadi tim liputan. Saya minta kolom untuk bisa menulis terkait peristiwa olahraga tersebut dikaitkan dengan politik.

Seperti biasa saya menuliskan peristiwa politik. Misalnya, perang antara Elsavador dan Honduras saat pra Piala Dunia 1970. Kedua negara berperang selama 100 jam gara-gara pertandingan sepakbola. Juga strategi sepakbola ditinjau dari sisi ilmu perang dan lain-lain.

Nah, dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan itu, hadirnya Korea Utara merupakan kejutan. Itulah kali kedua, tim semenanjung tersebut tampil. Sebelumnya mereka tampil pada Piala Dunia 1966 di Inggris.

Kali ini mereka masuk dalam grup neraka bersama Brasil, Portugal, dan Pantai Gading. Brasil, antara lain diperkuat oleh Kaka dan Robinho. Portugal menampilkan Christiano Ronaldo dan Deco. Sedangkan Pantai Gading menampilkan Didier Drogba dan Yaya Toure. Sementara timnas Korea Utara, siapa yang kenal? Kok ada orang Indonesia dukung Korea Utara? Kan aneh.

Pada pertandingan pertama, Korea Utara membuat perlawanan gigih terhadap Brasil. Mereka hanya kalah 1-2. Namun pada pertandingan melawan Portugal, Korea Utara babak belur. Mereka takluk dengan kekalahan telak 0-7. Terakhir melawan Pantai Gading, mereka kembali menelan pil pahit 0-3.

Kim Jong–Hun, sang manager tertunduk lesu. Ia meratapi kekalahan timnya di lapangan. Hasil ini berbeda dengan Piala Dunia 1966.

Saat itu walau di grup neraka, Korea Utara berhasil melaju ke babak perempat final bersama Uni Soviet. Korea Utara berhasil menyingkirkan raksasa sepakbola, Italia dengan skor 1-0. Italia dan Chile tersingkir. Namun di babak perempat final, Korea Utara kalah dari Portugasl dengan skor 3-5.

Usai tersingkir secara memalukan di Piala Dunia 2010 itu muncul rumors adanya penganiayaan terhadap pemain dan manager tim Korut. Federasi Sepakbola Internasional FIFA penasaran dengan adanya isue tersebut. Komite Eksekutif FIFA Chung Mong-Jonn melaporkan tentang informasi terkait isu penganiayaan itu dari Korea Selatan.

 

 

Mengajak bertemu

Entah benar atau tidak, namun informasi tentang penyiksaan terhadap timnas Korut idak bisa dikonfirmasi. Termasuk oleh media massa di Indonesia. Terlepas dari masalah tersebut, seseorang yang mengaku dari Kedutaan Korea Utara di Jakarta, tersebut beberapa kali mengirimkan sms kepada saya.

Ia ingin bertemu di sebuah tempat. Termasuk menawarkan pertemuan di restoran Pyongyang di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ia pun mengirimkan sejumlah artikel melalui email untuk bisa dimuat di Republika.

Saya baca artikelnya, namun menurut pendapat saya tidak layak muat dengan berbagai alasan. Ia terus merayu melalui sms, termasuk akan memberikan ginseng khusus. Bahkan akan mengundang ke negerinya.

Saya sudah hapal betul menghadapi orang-orang kedutaan asing di negeri ini. Bagi saya orang kedutaan adalah bagian dari intelijen negerinya. Apa pun jabatannya.

Beruntung sejak reporter saya pernah ditugaskan untuk meliput ke sejumlah kedutaan. Menghadiri pesta-pesta hari kemerdekaan. Di situlah saya mengenal minuman-minuman khas, seperti vodka, wine, termasuk boricha (teh khas Korea).

Boricha terbuat dari biji barley yang dipanggang dan memiliki cita rasa yang agak mirip dengan kacang.

Saya juga bisa menikmati gadis-gadis Korea menggunakan pakaian adat. Orang Korea Selatan menyebutnya Hanbok. Sedangkan orang Korea Utara menyebutnya Chosŏn-ot. Terdiri dari jeogori atau baju, baji (celana) dan chima (rok). Umumnya memiliki warna yang cerah dengan garis yang sederhana serta tidak memiliki saku.

Kembali ke soal tawaran untuk bertemu dan hadiah-hadiah yang dijanjikan, semuanya saya tolak. Terus terang saya khawatir dengan jebakan-jebakan politik, termasuk telepon genggam saya disadap intelijen asing maupun intelijen negeri sendiri.

Beberapa kali saya mempelajari kerja intelijen asing di Indonesia dan cara intelijen Indonesia memata-matai masyarakat yang melakukan kontak dengan sejumlah orang kedutaaan.

Biasanya jika meliput ke kedutaan, saya tidak pernah membawa telepon atau alat komunikasi lainnnya. Saya sudah hapal. Saat dititipkan di pos kedutaan, telepon kita kemungkinan besar disadap. Saya juga menolak menerima hadiah, termasuk bolpoin sekali pun. Khawatir sudah diberikan chip atau alat deteksi.

Kecurigaan itu berawal saat saya meliput di kedutaan sebuah negara. Kemudian saya meminta teman saya yang ahli komunikasi dan elektronika untuk periksa kembali HP saya. Setelah diduga disadap, saya akhirnya mengganti nomor telepon serta menjualnya ke sebuah toko.

Saya jadi paranoid. Tetapi lebih baik seperti itu daripada masuk dalam jebakan batman atau superman yang membuat kita jadi ‘cemen’.

 

 

Pembunuhan Politik

Soal hubungan Indonesia dengan Korea Utara, saat ini sedang dalam keadaan hangat cenderung meningkat panas. Terutama setelah peristiwa tewasnya Kim Jong-Nam, saudara tiri pemimpin Korut Kim Jong-Un. Jong-Nam diduga diasingkan oleh satuan mata-mata negara komunis itu.

Jong-Nam tewas di Bandara Internasional Kuala Lumpur2 (KLIA) saat menunggu penerbangan ke Macau, Senin, 13 Februari 2017 lalu. Ia diserang dua perempuan saat menunggu pesawat yang akan membawanya ke Makau.

Rekaman kamera CCTV bandara menunjukkan, pria 45 tahun itu didekati dua wanita. Salah satunya menyergap dari belakang dan membekapkan kain basah ke wajah korban.

Beberapa saat kemudian Jong-Nam terlihat mencari bantuan staf bandara, yang mengarahkan dia ke klinik -- di mana ia tertangkap kamera sedang terkulai, tubuhnya merosot di kursi.

Polisi Malaysia mengatakan, korban menderita kejang-kejang dan meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Diduga kuat kondisinya itu dipicu racun.

Pastilah Seoul menuduh, Pyongyang berada di balik pembunuhan itu. Sekaligus menyebut, Kim Jong-Un memerintahkan pembunuhan atas kakak tirinya itu. Upaya pembunuhan yang gagal terhadap Kim Jong-Nam juga dilaporkan pernah dilakukan pada 2012 lalu.

Kepolisian Malaysia yakin bahwa para terduga pelaku yang sebagian sudah ditangkap terlibat dalam pembunuhan tersebut. Inspektur Jenderal Polisi Malaysia Tan Sri Khalid Abu Bakar membantah dalil dua terduga perempuan, dari Indonesia dan Vietnam, bahwa mereka dijebak dengan dalih melakukan lelucon pada korban.

"Tentu saja mereka tahu. Itu adalah serangan racun," kata Khalid. "Anda melihat videonya kan? Dua wanita itu bergerak, menjauhkan tangan dari wajah mereka, ke arah kamar mandi. Mereka sangat menyadari bahwa cairan itu beracun dan harus mencuci tangannya."

Kedua perempuan itu adalah Doan Thi Huong (28 tahun) dari Vietnam dan Siti Aisyah (25 tahun) dari Indonesia. Keduanya, menurut polisi Malaysia telah dilatih untuk menyemprotkan atau mengusapkan cairan itu ke korban. Keduanya diduga diberi pelatihan di Kuala Lumpur sebelum serangan di bandara.

Saya tidak tahu, siapa sebenarnya Siti Aisyah. Dia masih muda dan tidak memiliki ilmu yang cukup untuk menganalisis bahwa dirinya sedang dijadikan agen atau apalah.

Namun, sesungguhnya, pemerintah Korea Utara memang sedang kesal terhadap pemerintah Presiden Joko Widodo. Tepatnya, Februari satu tahun lalu, Duta Besar Korea Utara untuk Indonesia Ri Jong Ryul mengkritik acara "Simposium Hak Asasi Manusia (HAM) di Korea Utara" yang diadakan di Indonesia.

Simposium terlaksana atas kerja sama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), LIPI, Perwakilan Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR Indonesia) serta Komisi HAM Korea Selatan (NHRCK).

Ia kesal, karena negaranya tidak pernah diinformasikan bahkan tidak diundang dalam kegiatan tersebut. "Simposium yang membahas HAM di Korea Utara dilaksanakan tanpa pernah mendiskusikan apapun dengan negara kami. Tidak pernah ada informasi maupun undangan kepada kami terkait hal ini," kata Ri Jong Ryul.

Dia juga menyesalkan simposium ini diadakan di Indonesia, negara yang memiliki hubungan sangat baik dengan Korea Utara.

Memang tidak terbantahkan, hubungan Indonesia dengan Korea Utara, sangat mesra pada era Presiden Sukarno. Kedua negara merupakan pendiri Non-Blok. Persahabatan Bung Karno dan Presiden Abadi Korut, Kim Il-Sung terjalin sangat baik.

Il-Sung melawat ke Indonesia pada 13 April 1965. Kunjungan itu membekas, karena Bung Karno menghadiahkan satu varian anggrek lokal di Kebun Raya Bogor, dengan nama 'Kimilsungia'.

Merasa tersanjung, Kim mengundang Bung Karno ke Pyongyang. Megawati yang masih remaja saat itu mengikuti rombongan ayahnya. Dalam lawatan tersebut, Mega bertemu Kim Jong-il, putra Kim Il-sung.

Saat menjadi Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, meneruskan kedekatan emosionalnya dengan dua bangsa Korea. Baik dengan Korea Utara yang tertutup serta berpaham nasionalis, maupun terhadap Korea Selatan, negara demokrasi yang sekarang menapak jalan menjadi raksasa ekonomi dunia baru.

Lawatan kedua dihelat Megawati pada 28 Maret 2008. Mega ingin menapaktilasi kunjungan ayahnya ke negara-negara mitra, termasuk Korut. Ia tercatat empat kali melawat ke Korea Utara. Sambutan terhadap dirinya pun cukup hangat di negeri tertutup itu.

Di Bandar Udara Sunan, Pyongyang, Mega disambut hangat warga Korea Utara. Ribuan penduduk Pyongyang dikerahkan pemerintahnya menuju bandara meneriakkan yel-yel "Hidup Megawati".

Nam dan Un

Dalam lawatan sebagai presiden itu, Megawati sekaligus menggelar reuni dengan Kim Jong-Il. Kim Jong-Il memiliki empat orang anak, yaitu: Kim Jong-Nam (dari Song Hye-Rim), Kim Sul-Song (dari Kim Young-Suk), serta Kim Jong- Chul dan Kim Jong-Un (keduanya dari Ko Young-Hee).

Jadi, Kim Jong-Nam merupakan anak pertama dari Kim Jong-Il dan awalnya dipersiapkan untuk meneruskan kekuasaan ayahnya. Tetapi pada 2001, Kim Jong-Nam ketahuan memasuki Jepang dengan menggunakan paspor palsu.

Hal inilah yang diduga menjadi penyebab disingkirkannya Jong-Nam dari posisi pengganti ayahnya. Ia memang tidak banyak bicara kepada publik dan tidak menyukai politik. Pada 2011 adik tirinya, Kim Jong-Un (34 tahun) menjadi 'pemimpin tertinggi' Korea Utara. Sekaligus menjadi kepala negara termuda di dunia.

Jong-Nam bicara pada Yoji Gumi, seorang wartawan Jepang yang menulis buku tentang Korea Utara. Dalam buku itu, Nam mengkritik kebijakan pewarisan kekuasaan lewat garis keturunan di Korea. Dunia luar pun berhasil mengetahui kehidupan keluarga pemimpin besar Korea Utara. Jong-Nam dianggap berkhianat terhadap kebijakan negaranya.

Nam kerap memakai nama samaran Kim Chol, sebagaimana terlihat pada paspor yang ia pegang. Bahkan ditemukan sebuah akun Facebook dengan nama Kim Chol, berisikan sejumlah foto Nam di Macau.

Dari kegiatan Nam di media sosialnya itu, dia tidak terlihat berusaha menyembunyikan identitas dirinya dari publik, meski dia menjadi target pembunuhan.

Pembunuhan yang melibatkan perempuan Indonesia, Siti Aisyah, yang memiliki kekasih orang Korea Utara. Aisyah, perempuan asal Serang, Banten ini masuk dalam pusaran kasus yang mungkin dia tidak pahami.

Lugunya kau, Aisyah. Padahal kau bukan perempuan Korea yang mengenakan Chosŏn-ot. Mungkin, kau pun tak bisa lagi minum boricha.

 

*Selamat Ginting, Jurnalis Senior Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement