Selasa 14 Feb 2017 13:12 WIB

LBH Pers Sayangkan Kekerasan Jurnalis

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bilal Ramadhan
Setop Kekerasan Terhadap Jurnalis (ilustrasi)
Foto: www.antaranews.com
Setop Kekerasan Terhadap Jurnalis (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan terhadap pekerja media massa selama penyelenggaraan pilkada serentak tercatat semakin meningkat. Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Nawawi Bahrudin pun menyayangkan peristiwa kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis.

Selama pelaksanaan pilkada serentak, LBH mencatat terdapat lebih dari lima kasus tindak kekerasan terhadap jurnalis yang tengah bertugas. Sejumlah peristiwa tersebut, kata dia, perlu mendapatkan perhatian dari aparat kepolisian.

"Kami LBH Pers sangat menyayangkan peristiwa kekerasan yang terjadi pada jurnalis dan tindakan tersebut sebenarnya sangat merugikan dan melemahkan atas gerakan yang telah dibangun," kata Nawawi dalam konferensi pers di kantor LBH Pers, Jakarta Selatan, Selasa (14/2).

Lebih lanjut, LBH Pers menilai pekerjaan jurnalis merupakan pekerjaan yang dilindungi oleh hukum dan konstitusi. Sebab, para jurnalis bekerja untuk memenuhi hak informasi masyarakat.

"Jika pekerjaan jurnalis dihalang-halangi atau bahkan diintimidasi, maka sebenarnya yang menjadi korban adalah masyarakat luas. Karena masyarakat mempunyai hak atas informasi dan sebagai prasyarat negara demokrasi," jelasnya.

Nawawi menyampaikan, para pekerja media bekerja berdasarkan pedoman yang diatur dalam konstitusi, kode etik jurnalistik, dan juga pedoman perilaku. Karena itu, jurnalis harus mendapatkan perlindungan negara serta masyarakat harus menghormati.

Ia mengatakan, masyarakat dapat menggunakan hak jawab yang juga telah diatur dalam UU Pers untuk meluruskan informasi yang dinilai salah.

"Jika memang ada informasi yang dianggap merugikan pemirsa atau masyarakat, jalur yang semestinya ditempuh adalah hak jawab atau hak koreksi sebagaimana UU Pers mengaturnya, bukan menghakimi kehendak masing-masing," tegasnya.

LBH Pers juga meminta aparat kepolisian untuk menindak para pelaku kekerasan, yang juga merupakan bentuk pelanggaran hukum. Tak hanya itu, Nawawi menyampaikan, perusahaan media harus bertanggung jawab penuh atas keselamatan jurnalisnya di lapangan dan sedang melaksanakan tugas, serta menjaga independensi media.

Pada Pilpres 2014, media di Indonesia memiliki pengalaman buruk terhadap independensi pemberitaan, khususnya mengenai pemilu. Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa tersebut pun muncul kembali pada saat pelaksanaan pilkada serentak 15 Februari nanti.

"Pada 15 Februari, Indonesia akan mengadakan pilkada serentak di beberapa wilayah, dan potensi kekerasan kepada jurnalis sangat mungkin terjadi. Sehingga kami meminta kepada aparat kepolisian untuk memberikan respon cepat dan perlindungan kepada jurnalis yang sedang melakukan tugas jurnalistiknya," kata dia.

Salah satu kekerasan yang terjadi yakni, terhadap dua jurnalis Metro TV pada 11 Februari lalu saat meliput aksi 112. Keduanya pun telah melaporkan ke kepolisian tindakan kekerasan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement