REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNG PINANG -- Kebijakan pemerintah menetapkan hari pemungutan suara pada sejumlah daerah yang menyelenggarakan pilkada sebagai libur nasional perlu dikaji, kata pengamat politik, Endri Sanopaka.
"Pilkada belum dilaksanakan secara serentak di Indonesia, kenapa diliburkan secara nasional? Seperti Kepri tidak melaksanakan pesta demokrasi pada 15 Februari 2017, tetapi terpaksa 'menikmati' libur nasional," ujarnya yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji di Tanjungpinang, Senin (13/2).
Baca: Mendagri Siap Koreksi Kebijakannya Soal Ahok
Endri mengemukakan, masyarakat yang memiliki hak suara di Kepri juga tidak menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara pilkada di daerah lainnya yang diselenggarakan secara serentak. "Artinya, pemungutan suara 15 Februari 2017 tidak berdampak secara langsung bagi masyarakat Kepri sehingga seharusnya tidak diliburkan," katanya.
Dia mengemukakan, keputusan libur secara nasional saat pilkada 15 Februari 2017 berdampak terhadap pelayanan publik di Kepri. Seharusnya, kata dia, para pegawai pemerintahan di Kepri memberi pelayanan publik kepada masyarakat, bukan menikmati libur pada saat wilayah atau daerah lain menyelenggarakan pilkada.
Selain itu, menurut dia, dunia pendidikan di Kepri dan wilayah lainnya yang tidak menyelenggarakan pilkada juga terganggu, meski hanya sehari. Pelajar dan mahasiswa yang seharusnya mendapat ilmu pengetahuan terpaksa "menikmati" hari libur.
"Pasti ada efek karena dalam sehari tidak mendapat ilmu pengetahuan di kampus dan sekolah," ucapnya.
Endri mengimbau pemerintah untuk mengkaji kembali ketentuan tersebut sehingga tidak merugikan wilayah yang tidak menyelenggarakan pilkada. "Saya agak merasa aneh, kenapa pilkada serentak sebelumnya tidak libur nasional, tetapi sekarang malah libur nasional," katanya.