Rabu 08 Feb 2017 18:40 WIB

Tarik Wisatawan, DPD Usul Gerakan Wisata Murah ke Indonesia

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Winda Destiana Putri
wisata bali
Foto: google
wisata bali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD asal Nusa Tenggara Barat, Baiq Diyah Ratu Ganefi menilai, biaya wisata di Indonesia sangat mahal dibandingkan pergi ke negara lain. Sehingga banyak masyarakat Indonesia yang lebih senang berpergian keluar negeri.

Padahal, Indonesia menyimpan potensi sumber daya pariwisata yang sangat besar untuk menarik destinasi wisata dunia. Namun sayangnya, potensi dan peluang menjadi kunjungan wisatawan dari belahan dunia masih menghadapi kendala.

"Ini yang perlu perhatian bersama baik swasta dan pemerintah untuk menciptakan wisata murah di Indonesia," kata Baiq, dalam RDP Komite III DPD RI dengan Association of Indonesia Tours and Treavel Agencies Asnawi Bahar, Kamar Dagang Indonesia Bidang Pariwisata Kosmian Pudjiadi, dan Pakar UGM M. Baiquni, yang membahas masalah kepariwisataan Indonesia di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (7/2).

Oleh karena itu, Baiq mengusulkan adanya gerakan wisata murah untuk meningkatkan wisatawan lokal atau macanegara. Jika tidak ada, kata dia, Indonesia akan kalah bersaing dengan negara-negara tetangga. ''Kita harus punya gerakan wisata murah atau wisata murah ke Indonesia untuk menarik wisatawan,'' harap Baiq.

Kamar Dagang Indonesia Bidang Pariwisata Kosmian mengatakan, sejauh ini kesiapan destinasi yang belum optimal dan merata menjadi kendala. Kesiapan destinasi yang belum optimal tersebut antara lain terkait keterbatasan manajemen atau pengelolaan daya tarik wisata yang memiliki kelas dunia. ''Hal ini yang paling mendasar dalam mengembangkan destinasi adalah standarisasi,'' ujar dia.

Ia juga mengatakan, pajak hiburan di beberapa daerah yang ada di Indonesia menerapkan hiburan dengan angka maksimal 75 persen. Alasan utama penerapan retribusi itu adalah guna menghindari adanya permintaan izin usaha hiburan tertentu dari pengusaha. ''Kita tertinggi di dunia. Harusnya pajak hiburan tidak lebih dari 10 persen. Di Singapura saja hanya 15 persen,'' tutur Kosmian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement