Selasa 07 Feb 2017 08:00 WIB
(Relasi Dakwah dan Politik 3)

Jangan Golput, Politik Cabang Ajaran Islam

Syukri Wahid
Foto: dok.Istimewa
Syukri Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : drg Syukri Wahid *)

Menurut Ibnul Qayyim puncak tertinggi manusia dalam berorganisasi adalah mereka mengelola sebuah negara. Negara adalah akumulasi interaksi antara tanah, manusia, nilai atau peraturan yang menjadi ruh mereka hidup bersama serta kedaulatan dan kemandirian.

Aktivitas politik, aktivitas purba dalam sejarah kehidupan dan peradaban manusia. Sampai kemudian risalah Islam yang dibawa baginda Nabi Muhammad SAW datang, politik itu tetap ada. Namun Islam memberi arahan, bimbingan, batasan dan larangan agar politik itu bertemu dan selaras dengan agama.

Itulah konsekuensi ajaran Islam yang bersifat integral yang menyebabkan harus masuk ke seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk politik. Sehingga dalam literatur, ulama kita menyebutkan aktivitas politik Islam dengan istilah siyasah syar'iyah. Karena ada beberapa kehendak-kehendak Allah SWT dalam Alquran yang harus dilaksanakan dengan perangkat negara.

Politik termasuk furu' atau cabangnya Islam, sekaligus khaadim atau pelayannya dakwah. Karena itu seluruh perjuangan politik dengan menggunakan sarananya adalah wasilah memuluskan agenda langit dalam kehidupan politik yang akan mengatur kehidupan kita secara umum.

Dalam Alquran tidak ada satupun kata siyasah apalagi ayatnya, sehinggga jangan terlalu mendewakan politik dan beberapa kalangan bahkan sampai mengatakan politik tidak ada dalam Islam, ayatnya aja tidak ada. Lantas, apakah karena kata politik tidak ada dalam Alquran maka menjadi haram? Apakah semua aktivitas itu harus disebutkan dahulu dalam Alquran, baru dikerjakan?

Syaikh Yusuf Qardhawi juga telah mempertegas masalah ini dalam bukunya 'Bahaya Dikotomi' antara agama dan negara. Kita sudah tahu, akidah betapa penting dalam kehidupan agama, bahkan banyak ulama menulis kitab mengenai konsep akidah Islamiyah. Tapi sila buka Alquran, maka tak satupun ada ayat yang memakai redaksi kata aqidah dalam Alquran. Jadi bukan karena kata siyasah atau politik tidak ada maka menjadi haram, contohnya kata akidah di atas.

Allah SWT justru  menyebut aktivitas politik dalam Alquran dengan esensi redaksi fungsional lain, seperti kata Tamkin atau kedudukan, Mulkan atau kerajaan, Hakam dan kata Hakim yang berarti hukum dan hakim. Lalu kata istikhlaf, 'adil, ulil amri, khalifah, syuraa, dan lainnya. Maka sungguh seluruh kosa kata itu jika kita kumpulkan dalam satu nomenklatur kata, maka hanya bisa kita defenisikan sebagai politik atau siyasah bukan?

Mata rantai risalah dan negara

Selama 23 tahun dimasa nabi adalah masa risalah karena itu disebut dengan nubuwwah, dimana Rasulullah memegang fungsi hakim (yudikatif), Alquran dan hadis sebagai aturan utama (legislasi) dan sekaligus kepala negaranya (eksekutif). Saat itu juga beliau telah mengamanahkan beberapa Sahabat menjadi kepala gubernur di suatu wilayah, yang dalam tugasnya bisa berijtihad untuk memtuskan perkara agama.

Jadi sudah ada distribusi dan pemberian otoritas wewenang ijtihad, seperti sahabat Muadz bin Jabal Ra yang  bertugas di Yaman. Pada zaman 4 sahabat yang dikenal dengan Khulafaa Rasyidin dalam hadis, mereka semua berempat hanya sekitar 30 tahun memerintah. Kalau kita gabung dengan masa nubuwwah menjadi 53 tahun, itulah masa keemasan yang merupakan laboratorium Islam bernegara dikemudian hari.

Saat itu Sayyidina Abu bakar Ra sebagai kepala negara dengan sistem khilafah bergelar panggilan "Khalifah Rasulullah". Saat Sayyidina Umar bin Khattab Ra menjadi kepala negaranya, karena beliau juga memberi masukan kalau diberi gelar "Khalifa khalifa Rasulullah" atau pengganti penggantinya Rasulullah, maka akan menjadi panjang.

Akhirnya, sejak zaman beliau, seorang khalifah dipanggil dengan sebutan amirul mukminin, sampai berubahnya bentuk khilafah dengan kerajaan atau monarki  dan hingga runtuhnya Institusi Khalifah.   

Saat itu juga khalifah Umar bin Khattab Ra sudah mengotonomikan lembaga yudikatif atau kehakiman dengan mengangkat seorang Qadhi’ atau hakim yang memutuskan persoalan hukum tanpa persetujuan dari khalifah saat itu. Bekerja secara independen, walau tetap diangkat dan diberhentikan khalifah. Beliau memiliki majelis Syura yang kuat yang bisa memerankan fungsi hisbah atau kontrol dan memberikan masukan kepada khalifah.

Intinya struktur dan sistem sangat luwes untuk menjawab kebutuhan mereka bernegara kala itu. Sangat jelas prinsip-prinsip mereka berpolitik sesuai yang ada dalam Alquran sebagai prinsip yang harus  dipegang.

Beberapa hari ke depan, Ibu Kota akan memilah calon pemimpin baru melalui Pilkada. Sampai kini masih banyak yang alergi denga sistem demokrasi, hingga memilah golput. Padahal, politik bagian dari nilai Islami. Dan suara umat menentukan kepemimpinan umat Jakarta, yang menjadi barometer Indonesia. Menentukan masa depan umat Muslim Indonesia di kemudian hari.

*) Ketua Komisi I DPRD Balikpapan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement