Selasa 07 Feb 2017 06:10 WIB

Inspirasi Hijau Perempuan Desa

Bersama suami dan anak, perempuan di Daha Selatan sering bolak-balik ke kebun naik perahu kelotok sekitar satu jam perjalanan.
Foto: Priyantono Oemar/ Republika
Bersama suami dan anak, perempuan di Daha Selatan sering bolak-balik ke kebun naik perahu kelotok sekitar satu jam perjalanan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Priyantono Oemar

Masyarakat memberdayakan diri untuk menciptakan kemakmuran hijau bersama organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Mereka berorganisasi bahu-membahu untuk bisa berdaya secara ekonomi sekaligus menyelamatkan lingkungan. Berikut ini catatan wartawan Republika, Priyantono Oemar, tentang upaya komunitas bersama dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah mengentaskan kemiskinan.

Rabiatul mengurus tanaman semangka setiap hari ketika musim berkebun tiba. Jika tidak tinggal di kebun, ia akan berangkat dari rumah pagi-pagi naik perahu kelotok sejah 15 km. "Dari pagi kerja, jam sepuluh istirahat, lanjut lagi sampai jam 12 istirahat lagi untuk shalat dan makan siang, lanjut lagi hingga sore hari," tutur Rabiatul kepada Republika, Rabu (11/1).

Ikut mengelola 15 hektare kebun rawa gambut bersama suami dan ketiga anaknya, warga Desa Baruh Jaya, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, itu kebagian pekerjaan yang membutuhkan ketelitian. Penyerbukan menjadi salah satu tugas yang ia ambil selain menyiapkan benih semangka. Menanam bibit dan ikut memanen juga ia lakukan.

Untuk pengolahan lahan, mulai dari menebas gulma –karena merek amengolah lahan tanpa bakar— hingga membuat bedeng dan memupuk diupahkan kepada pekerja. Pupuk kandang disiapkan untk menyuburkan rawa gambut sehabis ditebas gulmanya. Gulma yang sudah ditebas dipakai untuk menutup tanah agar gulma terhalang tumbuh kembali.

Perempuan-perempuan di Daha Selatan yang bertani akan mendapat peran seperti yang didapat Rabiatul. Tetapi, Rabitaul mengambil peran tambahan, yaitu sebagai pengepul hasil panen sebelum dibeli pembeli dari luar desa.

Membelah buah pinang untuk diambil bijinya merupakan pekerjaan perempuan di Desa Sungai Beras, Tanjung Jabung Timur, Jambi. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

Perempuan di Desa Bararawa, Kecamatan Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, tidak bertani, karena tak ada lahan pertanian di sana. Paminggir merupakan kecamatan hasil pemekaran dari Kecamatan Danau Panggang pada 2007. Jaraknya 27 km dari Danau Panggang, sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan perahu mesin dari danau Panggang. "Warga di sini, sebanyak 40 persen beternak dan 60 persen nelayan," ujar Haji Karani, mantan pembekal Desa Bararawa.

Kaum perempuan membantu suaminya dengan berkegiatan menganyam purun. Di musim kemarau mereka menanam jagung dan cabai di pekarangan belakang rumah. Tetapi untuk menanam itu, mereka harus membuat pagar dari kayu gelam, agar jagung dan cabainya tidak dimakan kerbau rawa.

Menurut Arif, warga Bararawa, ketika musim kering, air rawa menyurut, kerbau berendam di sungai dekat rumah. "Kalau ada sayuran di pekarangan, pasti habis dimakan kerbau, karenanya sayuran dan tanaman jagungnya akan dikandangi," ujar Arif kepada Republika.

Cabai dan jagung yang ditanam itu dipakai untuk konsumsi sendiri. Tetapi anyaman purun yang mereka buat untuk dijual. Purun merupakan rumput liar yang tumbuh di rawa gambut.

Selain itu, kata Arif, kaum perempuan juga bertanggung jawab atas pekeraan mengeringkan  ikan sepat. Jika ikannya tak perlu dikeringkan, kam laki-lakilah yangmenjalnya langsung ke pengepul.

Di Desa Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, kaum perempuan juga mengolah lahan gambut untuk tanaman hortikultura. "Kami membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Merpati akhir 2015 lalu untuk menjalankan pertanian organik," ujar Rasidah, Ketua KWT Merpati Sungai Besar kepada Republika, Selasa (3/1).

Sebelum membentuk kelompok tani, mereka bertani sendiri-sendiri, dan menyia-nyiakan air bekas cucian beras. Setelah mendapat pengetahuan tentang manfaatnya, mereka mengumpulkannya untuk dijadikan pupuk.

Beranggotakan 10 perempuan, KWT Merpati ikut mengolah lahan tanpa bakar seluas satu hektare di kawasan hutan bekas terbakar 2015, yaitu Blok Hutan Rawa Gambut Pematang Gadung. Ada 10 hektare areal hutan bekas terbakar di tiga desa di Ketapang yang dipulihkan ekosistemnya. Tujuh hektare dikelola kelompok tani laki-laki, tiga hektare lagi dikelola KWT.

"Hasil panen di lahan yang dikelola KWT, 50 persen dibagi untuk anggota, 50 persen lagi untuk kas KWT," ujar Rasidah. Masing-masing anggota KWT juga mengolah lahan pribadi seluas seperempat hektare lahan untuk tanaman sayur-mayur.

Sebelumnya, mereka menjalankan pertanian biasa menggunakan pestisida dan hanya menanam di musim hujan. "Kalau kemarau, lahan gambutnya kering,' ujar Rasidah memberi alasan.

Setelah mendapat pelatihan, mereka mengetahui teknik mempertahankan kelembaban lahan gambut, sehingga di musim kemarau pun mereka bisa menanam sayur-mayur. "Kami memakai teknik mulsa, menutup bedeng dengan plastik," ujar Rasidah.

Dengan teknik ini, pertumbuhan gulma di lahan yang ditanami pun bisa ditekan. Dengan memanfaatkan pupuk organik mereka mendapatkan hasil dua kali lipat dibandingkan ketika menggunakan pupuk kimia. Dalam satu musim panen, ketika masih memakai pupuk kimia, mereka hanya bisa memetik timun 10 kali. "Setelah memakai pupuk organik kami bisa memetiknya sebanyak 20 kali, harga pun lebih tinggi Rp 500," jelas Rasidah.

KWT Merpati juga menanam padi "bekerja sama" dengan kelompok tani laki-laki. Laki-laki kebagian mengolah lahan, perempuan kebagian menanam padinya. Untuk sayur-mayur, para perempuan ini mengolah lahan sendiri menggunakan cangkul untuk membuat bedeng-bedeng.

Setelah membentuk KWT, kata Rasidah, bertani menjadi lebih enak karena tiap minggu bertemu untuk membahas permasalahan. Kegiatan ini membuat pengetahuan mereka tentang pertanian organik juga bertambah. Sebelumnya, mereka berjalan masing-masing.

KWT di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, juga memantabkan hati menjalankan pertanian organik. Di 17 desa yang didampingi Yayasan Mitra Aksi, masing-masing desa memiliki lima KWT.

"Mereka menanam padi dan hortikultura," ujar Direktur Mitra Aksi Nilawaty kepada Republika, di sela acara Pameran Pengetahuan Kemakmuran Hijau yang diadakan Yayasan Bakti dan Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia di Jakarta pada 13 Desember 2016. Di setiap desa, Mitra Aksi membuat sekolah lapangan dan menyediakan lahan uji coba tempat KWT belajar pertanian organik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement