Selasa 07 Feb 2017 01:00 WIB

Koperasi Bubur dan Investasi Bodong

Investasi bodong
Investasi bodong

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh William Henley *)

Penghimpunan dana dengan nama investasi yang terdengar keren di telinga masyarakat, kembali memunculkan kasus investasi bodong. Belum lama ini tersiar kabar di Depok, pihak kepolisian setempat telah menyegel dua gedung investasi bodong Pandawa Group di Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok, Kamis (26/1). Menurut polisi, penyegelan ini dilakukan karena gedung tersebut sebagai subyek perkara dan untuk menghindari tindakan anarkis nasabah Pandawa Group (Tempo.co, 26 Januari 2017).

Umumnya, kasus investasi tidak bertanggung jawab--kemudian dikenal sebagai investasi bodong--menjadikan imbal hasil sebagai faktor penarik minat masyarakat. Dalam kasus Pandawa, disebutkan pengaju petisi di change.org bahwa badan usaha berbentuk koperasi simpan pinjam itu memberikan jaminan uang profit 10 persen hingga 16 persen setiap bulannya atau 210 persen per tahun. 

Dengan janji imbal hasil dua kali lipat lebih per tahun, wajar jika hal itu menyilaukan para calon investor. Rasionalitas untuk mengkaji badan usaha tersebut apakah sudah sesuai usaha yang dijalankan dengan izin dari departemen terkait, serta masuk akal tidaknya janji imbal hasil yang akan diperoleh menjadi hal yang tidak terpikirkan seketika.

Ujungnya, masyarakat menjadi mudah tergiur dan melupakan keharusan berhati-hati sebelum 'menyerahkan' uangnya untuk 'diputar' oleh badan usaha tersebut. Dalam pikiran mereka, bisa jadi, lebih kuat terbayang keuntungan yang bisa diraih sambil duduk manis atau ongkang kaki di rumah.

Padahal, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK memiliki protocol untuk mengingatkan masyarakat tentang berbagai tawaran investasi yang beredar. Melalui Investor Portal Alert (IAP)--dapat diakses di alamat www.sikapiuangmu.ojk.go.id atau melalui mobile apps SikapiUangmu--semua informasi seperti itu bisa diketahui.

Misalnya, pada Januari tahun ini OJK merilis 80 entitas atau perusahaan yang melakukan aktivitas investasi ilegal atau tanpa izin. Sejak membuka layanan Financial Customer Care (FCC) pada 2013 hingga 13 Januari 2017, OJK telah menerima 801 informasi dan pernyataan dari masyarakat mengenai 484 entitas yang diduga melakukan kegiatan investasi yang tidak jelas aspek legalitasnya, serta tidak berada di bawah pengawasan OJK.

Setelah dipilah Satgas Waspada Investasi, diketahui sebanyak 217 laporan yang bisa ditindaklanjuti. Sisanya, laporan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti karena informasi yang diberikan dikategorikan sangat tidak jelas. Dari 217 entitas yang dapat ditindaklanjuti itu diketahui  terdapat 80 entitas ilegal yang telah dicantumkan dalam IAP (Kompas.com, 20/1/2017). Di sini, sesungguhnya sudah jelas bahwa masyarakat bisa mengakses informasi yang ada untuk mengetahui legalitas perusahaan atau badan usaha yang menawarkan peluang investasi.

Bagi masyarakat yang sudah melek teknologi informasi sarana yang ada tentu sangat membantu. Informasi bisa mudah didapat hanya dengan 'menjentikkan' jari, mengklik alamat situs yang ada, dan selanjutnya tinggal menelisik data-data yang dibutuhkan. Misalnya, berdasar daftar perusahaan-perusahaan yang dirilis OJK, Jumat (7/11/2014), masyarakat yang melek TI bisa mengetahui ada Koperasi Bubur Pandawa Mandiri dengan jenis usaha berupa investasi uang.

Dengan informasi semacam itu, calon investor bisa mengetahui bahwa Pandawa Mandiri adalah Koperasi Bubur. Selanjutnya, bisa dipertimbangkan kelayakan usaha bubur ini jika calon investor berminat menanamkan uangnya. Dengan nilai investasi sedikit, bisa saja calon investor beranggapan bahwa ini investasi yang aman.

Namun, yang tidak boleh dilupakan, penduduk Indonesia jumlahnya lebih dari satu orang. Dengan kata lain, jika 10 persen saja dari total penduduk Indonesia menginvestasikan uang di Pandawa Mandiri, katakanlah masing-masing menitipkan Rp 1 juta, maka kapitalisasinya tidaklah sedikit.

Penduduk Indonesia berdasar Sensus Penduduk 2010 sebanyak 237,6 juta orang. BPS menggambarkan akumulasi rentang tangan penduduk Indonesia hampir mencapai jarak bumi ke bulan. Sementara itu jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) sebanyak 169,0 juta jiwa, terdiri dari 84,3 juta orang laki-laki dan 84,7 juta orang perempuan.

Sedangkan dari jumlah tersebut, angkatan kerjanya, yakni penduduk berusia 15 tahun ke atas yang aktif secara ekonomi dalam pengertian bekerja, mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha, mencapai 107,7 juta jiwa. Sebanyak 50,7 juta orang tinggal di kota, di bawah warga yang tinggal di perdesaan sebanyak 57,0 juta orang. Lebih jauh diketahui bahwa jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 104,9 juta jiwa dan yang mencari kerja sebesar 2,8 juta jiwa.

Jika diasumsikan bahwa dari total 104,9 juta jiwa penduduk yang bekerja saja terdapat 1 persen saja yang tergiur berinvestasi di Pandawa, maka jumlahnya mencapai 1 juta orang. Adapun kapitalisasinya, dengan asumsi masing-masing menginvestasikan dana Rp 1juta, maka sudah terkumpul dana sebesar Rp 1 triliun.

Belum lagi jika kelompok penduduk yang sudah tidak bekerja namun memiliki kekayaan yang bisa 'diputar' melalui investasi Pandawa, maka dana yang terkonsentrasi pun akan menjadi lebih besar lagi. Kalkulasi ringkas ini semestinya dapat menjadi acuan sederhana sebelum seseorang memutuskan untuk berinvestasi di perusahaan yang mana.

Masalahnya, tidak semua lapisan penduduk Indonesia mendapatkan pengetahuan yang sama tentang adanya informasi untuk mengecek sebuah perusahaan investasi.

Juga, tidak semua penduduk yang berminat menjadi investor memahami atau peduli dengan cara-cara menghitung secara sederhana kapitalisasi dana yang bisa terkumpul di sebuah lembaga/perusahaan investasi dan bagaimana perusahaan tersebut akan menginvestasikan dana yang terkumpul sehingga bisa memenuhi janji imbal hasil yang ditawarkan.

Padahal, tanpa kejelasan rencana investasi, bisa diperkirakan bahwa masa depan dana yang dititipkan itu berada dalam zona gelap. Silap mata karena hanya menghitung imbal hasil, membuat calon investor semacam ini kehilangan rasionalitasnya dan baru sadar setelah semua sudah terjadi. Kasip, terlanjur, dan akhirnya dirugikan.

Poin penting dari kasus investasi bodong yang sudah berulang terjadi ini adalah perlunya kontrol diri, tidak lepas kendali untuk asal berinvestasi. Di sini, diperlukan sikap "common sense" atau "akal sehat" untuk menelaah segala kemungkinan yang ada. Ketika kontrol diri dan sikap common sense itu dikedepankan, rasanya peluang terjebak pada pola-pola investasi bodong ini akan bisa diantisipasi sejak dini.

Lalu untuk lebih memperkuatnya lagi maka kontrol eksternal perlu juga diberikan otoritas terkait. Dalam hal ini, kontrol ekspternal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan edukasi dan sosialisasi tentang perusahaan investasi yang layak maupun tidak layak.

*) Founder Indosterling Capital

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement