REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Priyantono Oemar
Masyarakat memberdayakan diri untuk menciptakan kemakmuran hijau bersama organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Mereka berorganisasi bahu-membahu untuk bisa berdaya secara ekonomi sekaligus menyelamatkan lingkungan. Berikut ini catatan wartawan Republika, Priyantono Oemar, tentang upaya komunitas bersama dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah mengentaskan kemiskinan.--
Menggunakan belanga, para pemuda di Desa Santong menyangrai kopi dengan kayu bakar. Kopi kemudian dibungkus dengan label Kopi Bubuk Santong, produksi Babagus. "Mereka kerja di rumah masing-masing," ujar Ketua Babagus Sabur Hadi kepada Republika, Ahad (8/1).
Babagus, kata Sabur, kepanjangan dari Bajang Bawaq Gunung Santong. Artinya pemuda bawah Gunung Santong. Para pemuda itu mengorganisasi diri untuk ikut memasarkan produk hasil hutan bukan kayu. Babagus didirikan pada 2013. "Produksi kami berupa kopi bubuk, kripik p[isang, kripik talas, dan rencana akan mengembangkan dodol duren," ujar lulusan SMK tahun 2010 itu.
Para pemuda yang tergabung di Babagus, begitu lulus sekolah/kuliah memilih pulang ke kampung untuk ikut memajukan desa. Ketika masih kanak-kanak, hutan di desa mereka masih gundul, ketika para orangtua mereka berjuang menghijaukan kembali hutan di desa. Hutan itu kini telah memberi manfaat, setelah mereka meninggalkan pola pertanian ladang berpindah.
Pada dekade 1990-an, Santong tergolong miskin. Hutan di Desa Santong dan tiga desa lainnya hanyalah semak belukar akibat sistem ladang berpindah. Penghasilan warga pun hanya Rp 7.000 per hari. Aktivitas ladang berpindah tak menyejahterakan kehidupan mereka.
Hingga akhirnya pada 1997, saat Santong menjadi desa sendiri, warganya harus mau mengubah jalan hidup mereka. Mereka mendapat tawaran mengelola kawasan hutan di Resor Santong Rinjani Barat yang selama ini menjadi lahan ladang berpindah mereka. Luasnya 758 hektare di empat desa.
Bibit pohon dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan perlu mereka tanam di hutan itu. Dengan hak pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) itu mereka bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Mereka mendapat pendampingan dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ( LP3ES) dan Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB.
Haji Artim Yahya menunjukkan biji kopi dari HKm yang ia kelola. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)
Artim Yahya yang menjadi pejabat kepala desa saat itu –sekaligus menjadi ketua koperasi-- tak henti-hentinya mengajak warga bersedia menanam pohon di kawasan yang sudah tak berpohon satu pun itu. Sirih menjadi salah satu tanaman tumpang sari selain kopi dan kakao.
Pada 2011, kehidupan baru tahap kedua bagi seribuan petani anggota Koperasi Maju Bersama dimulai di Santong dan tiga desa lainnya itu. Mereka mendapat Izin Usaha untuk Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dari Kementerian Kehutanan setelah 14 tahun mengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm) percontohan.
Penetapan hutan di desa mereka sebagai HKm keluar pada 2009, berupa Surat Keputusan (SK) Menhut No: 447 /Menhut-II/2009. Luasnya tetap 758 hektare, mencakup tiga desa, yaitu Desa Santong, Desa Salut, Desa Selenggen, ketiganya di Kecamatan Kayangan, dan Desa Mumbul Sari di Kecamatan Bayan.
Di acara puncak Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia pada 2011, Presiden SBY menyerahkan sertifikat ekolabel untuk HKm Santong. Ini sertifikat ekolabel pertama yang dikeluarkan untuk HKm.
Pada 2011 itu pula mereka perlu meremajakan tanaman kopi mereka. Maka, lima petani kopi diajak Dinas Perkebunan ke Puslit Koka Jember pada April 2011. Mereka juga berkunjung ke kebun kopi milik petani kopi di Jember. Mereka belajar menyambung batang kopi.
Januari 2012 lima petani itu mulai menyambung batang kopi. "Masing-masing 100 batang," ujar Artim Yahya yang kini menjadi ketua Koperasi Tani Maju Bersama.
Untuk mendapatkan bibit kopi unggul yang akan disambung, mereka membelinya dari Desa Selulos, yang ternyata sudah memulai sejak 1999. Harganya Rp 1.000 per batang. Setahun kemudian sudah bisa panen.
Di tahun pertama, panennya baru satu kilogram per pohon. "Panen di tahun kelima sudah menghasilkan 10 kilogram per pohon," ungkap Artim yang bisa berhaji dari hasil bertani kopi di HKm itu.
Pada 2014, petani yang menyambung batang sudah ada 100 orang, masing-masing 300 batang, di lahan sepertiga hektare. Pada 2016, Artim sudah menyambung 1.500 batang.
Kopi sambung dan porang, di Jawa dikenal sebagai sueg, ditanam di sela kopi. (foto: Dokumentasi Artim Yahya)
Untuk menyambung batang itu, tanaman kopi mereka yang sudah tua ditebang, stek kopi unggul lantas disambungkan ke tunggak kopi yang sudah ditebang itu. Agar batang sambungan berbuah baik, tunas-tunas baru yang muncul di sekitar sambungan harus dipangkas.
Ketika Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia mengucurkan dana hibah untuk kemakmuran hijau, para petani di Lombok Utara juga menjadi sasaran program. WWF Indonesia sebagai lembaga pendamping pelaksanaan program itu.
Ada 500 batang kopi yang diberikan, selain 550 bibit durian, 500 bibit kakao, 1.000 bibit bambu, 500 bibit alpukat, 1.000 bibit jahe merah, 1.000 bibit kunyit, dan 8.000 bibit porang. "Porang dipanen umbinya, dibuat tepung untuk bahan mi," jelas Artim.
Selama ini petani di Lombok Utara telah menjual porang ke Nganjuk, Jawa Timur. Porang diambil dari hutan yang tumbuh liar. Setiap musim panen,mereka bisa mendapatkan 60 ton porang dari hutan. Satu umbi beratnya bisa mencapai 10 kilogram. Harga dari pengepul Rp 2.000 per kg. Mereka harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk mencapai hutan.
Mereka juga mendapat bantuan 2.000 rumah lebah untuk ternak madu yang dikelola oleh kelompok tani di Desa Mumbul Sari Kecamatan Bayan. Ada 100 hektare yang dikelola petani Mumbul Sari. Madu menjadi produk andalan bagi Mumbul Sari.
Maka, Desa Santong menjadi pusat komoditas kopi, durian, dan empon-emponan berupa jahe, kunyit, lengkuas. Desa Salut dan Desa Selenggen menjadi pusat komoditas kemiri. "Di Salut sudah dibangun rumah produksi kemiri bantuan dari MCA Indonesia dan WWF Indonesia," ujar Artim.
Menjadi pengelola HKm percontohan, mereka sering mendapat kunjungan dari berbagai pihak. Pada 2000 Pemkab Kulonprogo mengunjungi Santong. Pada 2009, ada kunjungan dari Jepang. Pada 2011, ada 14 negara di Asia yang berkunjung, pada 2012 ada 20 negara yang berkunjung. Pada 2013, Bank Dunia pun berkunjung. Mereka ingin melihat pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Resor Santong.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat kini menjadi komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Direktur Kemitraan Lingkungan Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Erna Rosdiana mengatakan perhutanan sosial telah diatur dalam Permen No 83 tahun 2016. "Tetapi kita masih mempunyai keterbatasan pelayanan," ujar Erna dalam diskusi di Pameran Pengetahuan Kemakmuran Hijau yang diadakan Yayasan Bakti dan MCA Indonesia, di Jakarta, Desember 2016.
Durian yang dikembangkan di HKm Santong hibah program Kemakmuran Hijau MCA Indonesia (foto: Dokumentasi Artim Yahya)
Dengan keterbatasan pelayanan yang dimiliki KLHK, masyarakat pun berminat mengelola perhutanan sosial. Masyarakat Desa Sinar Wajo di Tanjng Jabung Timur, Jambi, misalnya, antusias menyambut dikeluarkannya hak pengelolaan hutan desa seluas 5.088 hektare.
Meski pada awalnya mereka tak mengerti tata cara pengelolaannya, tetapi pelan-pelan mereka memulai mengelola hutan desa. Kelompok Pemuda Pemelihara Hutan (KPPH) Sinar Wajo pun dibentuk setelah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) terbentuk kepengurusannya. "Langkah awal, kita adakan program pohon asuh dengan biaya Rp 250 ribu per pohon, 60 persen untuk petani, 40 persen untuk desa," ujar Abdul Sani, ketua LPHD Sinar Wajo kepada Republika, November 2016.
Mendapat pendampingan dari WWF Indonesia, petani Desa Rawasari Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, juga antusias mengelola hutan lahan gambut. Dadang, petani Rawasari, menjelaskan hutan lahan gambut itu ditanami berbagai tanaman produktif. Ada jengkol, nangkadak, jelutung, kopi, dan sebagainya.
"Ada 10 desa yang kami dampingi untuk mengelola hutan lahan gambut di Jambi, menjalankan program hibah kemakmuran hijau dari MCA Indonesia," ujar Pimpinan Proyek WWF Indonesia di Jambi, Tri Agung Rooswiadji, kepada Republika, Desember 2016.
Masih adanya keterbatasan pelayanan perhutanan sosial dirasakan Artim di Lombok. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang juga diperlukan pengelola HKm Santong hingga kini belum mereka kantongi. "Setelah mendapat IUPHKm tahun 2011 kami segera mengurus IUPHHK, tapi hingga kini belum keluar," ujar Artim.
Puji Raharjo dari Javlec Yogyakarta yang mendampingi 4.000 petani Sleman mengelola HKm di Sleman seluas 1.284 hektare dan 700 petani yang mengelola 327 hektare hutan tanaman rakyat juga mengakuinya. ‘’Mereka menanam jati, tetapi untuk memanennya, meski sudah mendapat izin tebang tetapi mentok karena persyaratan tebangnya belum bisa dipenuhi masyarakat,’’ ujar Puji di acara diskusi yang dihadiri Erna itu.
Baca Juga Tulisan Sebelumnya:
Menjaga Rawa Gambut dari Serbuan Sawit
Menularkan Pengalaman Bertani Alami