Ahad 05 Feb 2017 05:11 WIB

Ahok, Para 'Cheerleader': 'Kill the Messenger' dan 'Killing Himself'

Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma'ruf Amin (kedua kiri) dan sejumlah undangan lainnya sebelum melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (1/11).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma'ruf Amin (kedua kiri) dan sejumlah undangan lainnya sebelum melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (1/11).

Oleh: Abdullah Sammy

Kill the messenger (membunuh si pembawa pesan) sejatinya sebuah trik kuno. Jauh sebelum teknologi berkembang pesat, akses informasi hanya bisa didapat dari seorang pembawa pesan (messenger). Messenger kerap membawa pesan yang tidak ingin didengar si penerima. Saat seorang penguasa dan pendukungnya tak suka atau tak ingin mendengar pesan dari sang pembawa pesan, cara paling mudah adalah dengan membunuhnya.

Kill the messenger telah terjadi sejak abad pertama sebelum masehi. Kisahnya terjadi saat perseteruan antara Romawi dan Kerajaan Armenia. Adalah pembawa pesan dari pemimpin pasukan Romawi, Lucullus, yang mendatangi raja Armenia, Tigranes.

Pihak Romawi mengirim pesan lewat sang messenger yang menyatakan seruan agar Tigranes menyerahkan musuh Romawi yang mengungsi ke tanah Armenia. Karena tak suka dengan pesan itu, pasukan Tigranes lantas memenggal kepala sang messenger Romawi.

Di era saat ini, kill the messenger sudah menjadi frasa metafora. Tapi substansinya masih sama, yakni reaksi atas ketidaknyamanan dan ketidaksukaan atas sebuah informasi yang diucapkan oleh si pembawa informasi. Karena tidak suka dengan isi informasi, maka si pembawa informasi dihabisi.

Strategi kill the messenger sedang menjadi pembicaraan di dunia olahraga pekan ini. Ini bermula dari perseteruan antara bintang Cleveland Cavaliers, LeBron James dengan Charles Barkley. LeBron yang kini bermain untuk Cleveland Cavaliers berang dengan pernyataan legenda basket 1990-an yang kini menjadi analis di NBA TV itu.

Barkley mengkritisi sikap LeBron yang dinilai cengeng karena selalu menuntut tim untuk melayaninya. Ini tak terlepas ucapan LeBron yang menganggap timnya perlu tambahan seorang playmaker.

"Di atas itu, semua tindakan LeBron (meminta tim mendatangkan playmaker) adalah tidak pantas dan cengeng," ucap Barkley, seperti dilansir ESPN.

Kuping LeBron panas dengan ucapan legenda Phonix Suns tersebut. LeBron pun melakukan serangan balik pada Barkley.

"Saya bukan seorang yang pernah melempar seseorang dari jendela. Saya tak pernah meludahi anak kecil. Saya tak pernah berhutang di Las Vegas. Saya tak pernah bilang saya contoh, tapi saya pun tak pernah tak muncul di laga All Star karena sedang pesta sepanjang pekan di Vegas," ucap LeBron menyindir balik masa lalu Barkley.

Ucapan eks pemain Miami Heat memicu kontroversi publik. LeBron dinilai mencoba menghabisi karakter Barkley yang sejatinya menjalankan tugas sebagai seorang analis basket.

Bukan substansi kritik yang dijawab. LeBron malah coba mengaburkan isu dengan menghabisi karakter si pengkritik, Barkley.

Tapi Barkley cukup cerdas untuk merespons segala tudingan itu. "Saya tidak membawa persoalan ini menjadi personal dengannya. Dia masih kecil saat saya bermain. Jadi mungkin dia meng-google saya, dan saya apresiasi itu," balas Barkley saat diwawancara ESPN.

Barkley pun menilai segala tudingan persoalan masa lalu kepadanya tidaklah penting. Sebab persoalan yang terjadi masa kini adalah LeBron bukan lagi Barkley yang sudah pensiun.

"Jadi saat anda tak suka dengan sebuah pesan maka yang anda lakukan adalah membunuh si pembawa pesan (kill the messenger)," kata Barkey.

Dia melanjutkan perkataannya, "Beberapa yang LeBron sampaikan terkait (masa lalu) saya ada benarnya, tapi itu tak membuat pesan yang saya sampaikan (saat ini) menjadi salah," kata Barkley tegas.

Perkataan Barkley itu merupakan jawaban telak atas strategi kill the messenger yang dimainkan LeBron. Strategi yang sejatinya sering dimainkan oleh politikus ketimbang olahragawan.

Dan di dunia politik di Indonesia, strategi kill the messenger kini menjadi senjata bagi pihak-pihak yang tidak bisa mengelak dari kritik. Karena tak bisa menjawab kritik, maka yang dibunuh adalah si penyampai kritik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement