REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Priyantono Oemar
Masyarakat memberdayakan diri untuk menciptakan kemakmuran hijau bersama organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Mereka berorganisasi bahu-membahu untuk bisa berdaya secara ekonomi sekaligus menyelamatkan lingkungan. Berikut ini catatan wartawan Republika, Priyantono Oemar, tentang upaya komunitas bersama dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah mengentaskan kemiskinan.
Hanya karena herbisida 20 liter seharga Rp 2 juta, Arman Tanggung kehilangan penghasilan tahunan sebesar Rp 50 juta hingga Rp 70 juta. Tanaman merica selas dua hektare milik petani Desa Salassae Sulawesi Selatan itu pada 2010 mati karena kebanyakan herbisida.
"Disemprot dengan 20 liter racun Malaysia, beberapa bulan kemudian tanaman mericanya menguning," ujar Arman kepada Republika pada 19 Desember 2016.
Para petani Salassae menyebut herbisida merek roundup yang mereka beli dari Malaysia itu sebagai racun Malaysia. Mereka yang merantau ke Malaysia memperkenalkan herbisida ini di Salassae karena dikenal ampuh membasmi gulma. Mereka mengetahuinya ketika bekerja di kebun sawit di Malaysia.
Karena petani lain sudah merasakan khasiatnya, Arman pun tertarik menggunakannya pada 2009. Ia meminta bantuan orang lain menyeprotkannya yang melakukannya tanpa kontrol yang benar. Bukan hanya gulma yang mati, tanaman mericanya pun ikut binasa. Musim panen merica pada 2010, Arman benar-benar kehilangan tanaman mericanya.
Arman terpukul berat dan membiarkan kebunnya, lantas menekuni profesi sopir yang selama itu ia lakukan sebagai sambilan. Ia menanam merica pada 1997 di lahan satu hektare. Empat tahun kemudian, ia bisa membeli mobil yang ia jadikan angkutan umum. Tahun berikutnya, pada 2002, ia membeli lagi mobil untuk angkutan umum. "Harga merica sempat mencapai Rp 150 ribu per kilogram," ujar Arman.
Panen sekali setahun, tiap panen mendapatkan 1 sampai 1,5 ton merica. Dengan berkebun merica ini, Arman menekadkan diri untuk tidak ikut teman-temannya merantau ke Malaysia. Ia ingin menjadi petani mandiri.
Armin Salassa, paling kiri, dalam sebuah pertemuan petani di Desa Salassae (Foto: Dokumentasi Komunitas Salassae)
Para petani Salassae mulai merantau ke Malaysia sejak 1980. Itu masa ketika petani Salassae tergiur menanam cengkih dan karet di sawah padi mereka. Menunggu masa panen cengkih tak kunjung tiba, mereka harus mengupayakan penghasilan, pilihannya adalah menjadi TKI. Hingga 2010, terhitung ada 1.000 orang yang bekerja di Malaysia, dari 4.000 jumlah penduduk Salassae.
Cengkih dan karet menggantikan padi lantaran penggunaan bahan kimia yang tak terkontrol dalam pertanian mereka membuat sawah tak subur lagi. Padi tak subur, gulma memenuhi sawah, hama juga tak mati-mati. Padi pun sedikit hasil panennya. "Hanya 4 sampai 5 ton per hektare," ujar Arman yang kini menjadi ketua Bidang Pertanian Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) itu.
Setelah tragedi ini, Arman tak mau lagi mengurus kebun. Ia memilih menggantungkan hidup pada dua angkutan umumnya.
Setahun berselang, ia diajak untuk bertani lagi tanpa menggunakan bahan kimia. Adalah Armin Salassa yang memutuskan pulang setelah menjadi tenaga lapangan berbagai lembaga swadaya masyarakat di berbagai daerah yang mengajak pemuda-pemuda Salassae bertani secara alami. Arman menampik ajakan itu, karena masih memendam trauma.
Tetapi Armin bersebelas terus berjalan dengan rencananya bersama beberapa pemuda. "Banyak yang nggak percaya, pakai pupuk dari toko saja nggak berhasil, apalagi ini cuma pakai cuka dan gula," ujar Armin, pencetus KSPS yang kini menjadi pembina KSPS.
Untuk membuat nutrisi tanah dan tanaman, mereka mencampur bahan-bahan yang ada di lingkungan mereka dengan cuka dan gula aren. Berbekal itulah mereka mengajak petani lain untuk bertani secara alami, yang bisa meningkatkan kesejahteraan dan menjaga lingkungan.
Mendapati penolakan selama setahun, mereka terus meyakinkan petani lain. Petani diajak berdiskusi tentang pentingnya bertani secara alami dan pentingnya berorganisasi. Hal itu dilakukan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan mereka pada kesejahteraan dari pertanian. "Mereka telah kehilangan kepercayaan terhadap kesejahteraan dari pertanian," ujar Armin.
Kegagalan demi kegagalan mereka lalui. Abdul Wahid mengalami masa ketika tanaman cabainya tak pernah berbuah, meski daun-daunnya sangat lebat karena saking suburnya. Ternyata kelebihan nitrogen dan kekurangan kalium.
Ada pula Ebri, yang tanaman padinya menguning saat berbunga akibat kelebihan kompos. Yang membuat banyak petani terhenyak, ketika tanaman kacang panjang milik Tahmil, buahnya sebesar jempol kaki.
Belajar dari pengalaman-pengalaman itu, mereka terus memperbaiki diri. Seminggu sekali mereka membahas pengalaman-pengalaman di lapangan, mengevaluasinya, hingga akhirnya mereka memperoleh sukses. "Sekarang dari satu hektare sawah saya bisa panen 6 sampai 8 ton gabah kering," ujar Arman.
Kunjungan petani dari daerah lain di Salassae (Foto: Dokmentasi Komunitas Salassae)
Arman baru bergabung pada 2013, setelah sejak 2011 terus menolak ketika dibujuk bergabung. Ia pun ikut belajar membuat nutrisi untuk tanah dan nutrisi untuk tanaman. Ia pun melakukan uji coba penanaman. "Karena fokus pada target panen, nutrisi yang saya berikan membuat anakan padi mencapai 70 batang," ujar Arman.
Ia senang dengan pencapaian ini. Tetapi ketika panen, ia justru tak mendapat hasil yang maksimal. Hanya mendapat empat ton per hektare, seperti hasil panen menggunakan bahan kimia. Rupanya ia salah member nutrisi. "Nitrogennya terlalu tinggi pada saat padi di masa peralihan di usia 60-80 hari," ujar Arman.
Untuk satu hektare, dengan pupuk organik petani Salassae hanya menghabiskan maksimal Rp 80 ribu. Ketika masih menggunakan bahan kimia, menghabiskan Rp 1,5 juta. Dua kali masa tanam menggunakan nutrisi tanah dan tanaman, membuat sawah Arman bisa subur. Di masa tanam berikutnya, ia tak perlu lagi memberikan nutrisi. "Musim tanam sekarang ini sudah yang ketiga kalinya tak lagi menggunakan pupuk kompos dan nutrisi alami lagi," ujar Arman.
Untuk kompos sebagai nutrisi penyubur lahan, para petani di Salassae menggunakan mikroba. Untuk nutrisi tanaman mereka menggunakan nitrogen, pospor, kalium, kalsium. Semuanya mereka buat sendiri memanfaatkan bahan alami yang ada di lingkungan mereka.
Mikroba didapatkan dari mikroorganisme lokal (mol) nasi yang diproses hingga tahap kelima. Sedangkan nitrogen didapatkan dari ikan yang difermentasi dengan gula aren, pospor dari jantung pisang yang difermentasi dengan gula aren atau tulang sapi yang difermentasi dengan cuka. Kalium didapat dari fermentasi batang pisang dengan gula aren, kalsium fermentasi dari buah masak dengan gula aren atau cangkang telur yang disangrai dengan gula aren.
"Mikroba 5 sebanyak 20-30 liter saja bisa digunakan untuk tiga hingga empat tahun per hektare," jelas Armin.
BRI tertarik dengan memfasilitasi pembentukan lembaga keuangan mikro yang membeli beras petani. Di lembaga keuangan mikro ini, beras dikumpulkan lalu disalurkan melalui jaringan KSPS. Mereka pantang menjual beras ke mal-mal. "Kalau di mal, kita tak bisa bersilaturahim dengan pembeli, dan harga menjadi mahal," ujar Armin.
Penjualan beras mengandalkan jalur pemasaran alternatif. "Jalur yang bisa menjalin silaturahim dan tukar pengetahuan soal pertanian alami," ujar Armin.
Kini, Salassae menjadi sekolah lapangan bagi petani di Sulawesi Selatan. Petani anggota KSPS diberi tanggung jawab menularkan pengetahuan mereka ke petani lain. Mereka akan dikirim pula ke desa-desa lain untuk menularkan pengetahuan pertanian alami.
"Untuk mengetahui pertanian alami, para petani Kaluppini mengunjungi Salassae, kemudian para petani Salassae datang di Kaluppini tahun lalu untuk mengajarkan pertanian alami," ujar Kepala Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Suhardin kepada Republika, Rabu (1/2). Beberapa petani kemudian memulai pertanian alami. "Belum banyak yang melakukannya, karena mereka belum melihat hasilnya," tambah Suhardin.
Di Salassae sudah ada 73 petani yang menanam padi organik di 30,6 hektare sawah dan 200 petani yang menanam hortikultura dan beternak secara organik pula. Pada 2017 ini, ada 18 petani Salassae yang akan melatih petani untuk menjadi pelatih pertanian alami. "Ada 25 desa lain yang sudah mengikuti jejak Salassae mengembangkan pertanian alami," ujar Armin.
Arman Tanggung, baju kotak-kotak, memperlihatkan nutrisi tanaman yang dibuat petani (Foto: Dokumentasi Komunitas Salassae)
Baca juga tulisan sebelumnya:
Menjaga Rawa Gambut dari Serbuan Sawit
Baca Juga Tulisan Setelahnya: