Kamis 02 Feb 2017 15:02 WIB

Menjaga Rawa Gambut dari Serbuan Sawit

Parit dibendung agar air dari luar tidak masuk ke kebun petani, sementara air di parit yang sudah masuk ke kebun petani dialirkan ke kebun sawit dengan cara membedah parit, seperti terlihat di gambar.
Foto:
Parit dibendung agar air dari luar tidak masuk ke kebun petani, sementara air di parit yang sudah masuk ke kebun petani dialirkan ke kebun sawit dengan cara membedah parit, seperti terlihat di gambar.

Penolakan terhadap kehadiran kebun sawit juga bertujuan untuk menjaga ekosistem rawa gambut. "Di kecamatan lain yang sudah ada kebun sawitnya, banyak ikan mati karena air beracun dari kebun sawit dibuang ke rawa, kita tak mau itu terjadi di sini juga," ujar Haji Suryadi, peternak 35 ekor kerbau di Bararawa.

Asra, nelayan di Bararawa, mengakui sudah banyak yang rugi karena ikan di keramba-karambanya mati semua. Ada 20 keramba yang ikannya mati. Dua ribu ekor ikan di satu keramba milik Asra yang sudah siap panen juga mati. Namun mereka tak mengetahui penyebab kematiannya, tetapi yang pasti air buangan dari kebun sawit juga sampai di sungai yang melintas di desa mereka. "Saat ikan-ikan itu mati, airnya kuning," ujar Asra.

Kehadiran sawit di hutan rawa gambut Samuda memunculkan masalah juga. Air dari kebun sawit yang dibuang ke sungai, mengalir juga ke parit-parit, akhirnya masuk juga ke kebun warga. Untuk mencegahnya, warga harus membendung parit. Tetapi dampaknya, ketika turun hujan, air di kebun warga terhalang mengalir ke sungai. Maka, dibuat bendungan baru di bagian tengah parit, yang membuka aliran ke arah kebun sawit agar air di kebun warga ikut tersedot pompa milik kebun sawit.

Dengan tindakan ini, kata Lamson, kebun warga tak lagi tergenang air di musim hujan, sehingga mereka bisa menanaminya sepanjang tahun. Tapi, tentu saja tetap dibayangi kekhawatiran. Kehadiran sawit telah memunculkan hama tikus. Selain itu, kering gambut yang terus-menerus akan mempercepat kerusakan ekosistemnya.

Kerbau rawa, harganya bisa mencapai Rp 15 juta - Rp 25 juta per ekor. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

Guru besar kimia tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat H Fadly Hairannoor Yusran PhD mengingatkan hal itu. Menurut dia, para petani perlu memiliki pengetahuan mengenai potensi lahan gambutnya untuk bisa ditanami sebanyak tiga kali dalam setahun.

"Kita uji coba untuk tanam tiga kali dalam setahun, kemarin, menjelang panen kebanjiran, sehingga rugi Rp 45 juta," ungkap Lamson. Akibat banjir itu, Abdul Hamid yang kebunnya bersebelahan dengan Lamson, juga mengalami kerugian serupa. "Sekitar Rp 45 juta juga," ujar Amet, panggilan akrab Abdul Hamid.

Jumlah tanaman Lamson yang kebanjiran mencapai 9.000 batang untuk semangka dan  10 ribu batang cabai rawit. Padajal harga semangka sedang bagus, Rp 3.000 per kilogram, dan harga cabai rawit pun sedang melonjak tinggi.

Tetapi bencana itu tak membuat Lamson patah hati. Januari ini ia kembali menanam 3.000 semangka. Saat Republika mengunjungi kebunnya, seorang pekerja sedang memberi pupuk NPK untuk semangka yang baru berumur 12 hari.

"Upahnya Rp 70 ribu per hari," ujar Lamson yang menggunakan pupuk kandang berupa tahi ayam. Lamson membutuhkan 60 sak pupuk tahi ayam per hektarenya sebelum melakukan empat kali pemupukan NPK hingga masim buah tiba. "Sekitar tanggal 27-28 Maret sudah bisa panen," kata Lamson yang sudah melunasi ongkos naik haji dari panen semangka, untuk berangkat pada 2018.

Lamson dengan semangkanya yang baru berumur dua pekan. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

Bersama 21 keluarga yang menggarap 180 hektare rawa gambut di sekitar kebun sawit, Lamson bertekad tak akan melepas lahannya kepada perusahaan sawit. Semula ada sekitar 2.000 hektare yang digarap 100-an keluarga petani, tetapi banyak di antara mereka yang melepasnya kepada perusahaan sawit dengan imbalan hanya Rp 2,5 juta per hektare.

"Kami sangat sayang tanah kami, karena kami hidup dari pertanian," tegas Lamson. Itulah yang membuat 21 keluarga itu kuat bertahan. Mereka memegang teguh prinsip lahan pertanian harus tetap dipertahankan, sehingga anak cucu masih bisa menjadi petani yang makmur, bukan sebagai buruh tani atau buruh kebun atau buruh pabrik.

"Kalau sawit tidak kita tolak, nanti yang kita punya tinggal sungai, mau usaha apa?" ujar Suryadi. Karena itu, ‘tolak sawit harga mati’ telah menjadi mantra bagi masyarakat rawa gambut.

Tetapi, mantra tolak sawit harga mati ini belum bisa sepenuhnya menepis kekhawatiran mereka. Mereka juga memerlukan keberpihakan dari negara ketika tiba-tiba ada yang menyerobot tanah mereka. "Sudah lapor ke polisi, tetapi tak ada tindakan, karena katanya perusahaan sawit itu telah memiliki izin," ujar Darpini mengenang tindakan masyarakat ketika tanah mereka diserobot pada 2009.

Baca juga tulisan sebelumnya:

Mereka Ingin Makmur di Desa

 

Baca Juga Tulisan Setelahnya:

Menularkan Pengalaman Bertani Alami

Berkoperasi Mengelola Hutan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement