Kamis 02 Feb 2017 15:02 WIB

Menjaga Rawa Gambut dari Serbuan Sawit

Parit dibendung agar air dari luar tidak masuk ke kebun petani, sementara air di parit yang sudah masuk ke kebun petani dialirkan ke kebun sawit dengan cara membedah parit, seperti terlihat di gambar.
Foto: Priyantono Oemar/ Republika
Parit dibendung agar air dari luar tidak masuk ke kebun petani, sementara air di parit yang sudah masuk ke kebun petani dialirkan ke kebun sawit dengan cara membedah parit, seperti terlihat di gambar.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Priyantono Oemar

Masyarakat memberdayakan diri untuk menciptakan kemakmuran hijau bersama organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Mereka berorganisasi bahu-membahu untuk bisa berdaya secara ekonomi sekaligus menyelamatkan lingkungan. Berikut ini catatan wartawan Republika, Priyantono Oemar, tentang upaya komunitas bersama dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah mengentaskan kemiskinan.

Rasa waswas mereka belum terhenti. Sekitar 4.500 petani beberapa kecamatan di Hulu Sungai Utara (HSU) itu pada 2012 pernah membubuhkan tanda tangan di berlembar-lembar kertas. Mereka menolak kehadiran perkebunan sawit di wilayah mereka. "Tolak sawit harga mati," tegas H Karani, mantan pembekal Desa Bararawa, Kecamatan Paminggir, HSU, di rumahnya, Kamis (12/1).

Bupati HSU Kalimantan Selatan (Kalsel) telah mengizinkan sebuah perusahaan mengubah 10 ribu hektare lahan rawa gambut menjadi perkebunan sawit. Jika terealisasi, mereka tak akan bisa lagi beternak kerbau rawa. Surat itu dikeluarkan Bupati setelah tiga bulan dilantik pada 2012. Warga perlu bersyukur, karena hingga masa jabatan bupati akan berakhir, tak ada realisasi pembukaan lahan kebun sawit seluas 10 ribu itu.

Tetapi, rasa waswas tetap menghantui mereka dan kini rasa itu muncul lagi. Penyebabnya, empat bulan menjelang pilkada, sang bupati yang mencalonkan diri lagi itu mengeluarkan izin baru atas nama perusahaan lain untuk membuka kebun sawit seluas 8.000 hektare. Luas itu mencakup tujuh desa yang berada di kawasan hutan rawa gambut yang berstatus hutan produksi konversi. Izin itu keluar pada 26 Oktober 2016.

Bakri (memegang bambu) sedang membawa perahu kelotoknya di menembus gulma yang memenuhi rawa gambut. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

Walhi Kalimantan Selatan (Kalsel) menilai tindakan bupati ini telah mengangkangi Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2015. Inpres ini meminta dilanjutkannya penundaan pemberian izin baru penggunaan hutan primer alam dan lahan gambut di hutan konversi, hutan lindung, hutan produksi, termasuk hutan produksi konversi. Menurut Direktur Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono, Pemda seharusnya menjaga kesatuan hidrologi gambut di Kalsel. "Saat ini, 43 persen wilayah gambut di Kalsel telah diberikan untuk perkebunan sawit," ujar Kisworo.

Menanggapi dikeluarkannya lagi izin itu, warga kembali berinisiatif mengumpulkan tanda tangan penolakan. Sudah terkumpul tanda tangan dari dua desa, yaitu Bararawa dan Sapala di Kecamatan Paminggir. Meski mereka tak memanfaatkan rawa gambut untuk pertanian di musim kemarau, mereka tak rela rawa itu berubah menjadi kebun sawit. "Di surat izin disebutkan atas arahan tokoh masyarakat dan aparat desa, padahal tak pernah diajak bicara," ujar Karani.

Menolak kebun sawit, bagi mereka adalah harga mati. Rawa gambut adalah tempat mereka beternak kerbau rawa secara turun-temurun dan juga tempat beternak ikan. "Sudah empat generasi kami beternak kerbau rawa dan ikan, sekarang yang mengelola adalah generasi kelima, jika rawanya dijadikan kebun sawit tak mungkin kami menjadi buruh," ujar Karani.

Menurut Karani, mereka merasa perlu mendapatkan hak pengelolaan hutan rawa gambut agar tak dipakai sebagai kebun sawit. Dengan adanya hak pengelolaan itu, ujar Karani, lahan yang merupakan bagian dari hutan produksi konversi itu tidak dikapling menjadi milik pribadi tetapi menjadi milik adat, sehingga tak ada yang bisa menjualnya.

Kasus menjual hutan rawa gambut telah terjadi di beberapa desa di kecamatan lain, sehingga kebun sawit bisa dibuka. Hutan rawa gambut di Samuda, Daha Selatan, misalnya, semula ada 2.000 hektare yang digarap petani di musim kemarau. "Sekarang tinggal 180 hektare terdiri dari 21 kapling digarap oleh 21 keluarga besar, karena yang lainnya telah dijadikan kebun sawit," ujar Lamson, petani dari Banua Hanyar yang menggarap rawa di Samuda.

Bertahan bersama 20 keluarga besar, keluarga Lamson bukannya duduk manis. Perusahaan sawit pernah mengerahkan preman-preman untuk menutup jalan menuju lokasi kebun Lamson dan petani lainnya. Tapi Lamson dan kawan-kawan terus kukuh mempertahankan hak. "Kalau mau beli Rp 1 miliar per hektare, baru kami jual," kata Lamson yang menjadi ketua kelompok tani menegaskan.

Ia menyayangkan petani-petani lain yang telah melepaskan hak pengelolaan kebun mereka. Karena itu, ia merasa petani perlu memiliki organisasi yang kuat agar lahan garapan mereka tak diambil orang. Lahan di rawa gambut itu bukan milik pribadi, karena lahannya milik negara. Mereka mengelola dengan surat keterangan tanah yang dikeluarkan kepala desa.

Darpini, petani Baruh Jaya, bercerita, perusahaan sawit mengerahkan alat berat ketika rawa sedang dipenuhi air, saat lahan tak digarap petani. "Ketika petani tak menggarap lahan, lahan akan dibiarkan dipenuhi gulma dan air, bukan berarti menjadi lahan tak bertuan," kata Darpini.

Saat itu, kata Darpini, sosialiasi ke warga, warga ikut mengelola kebun dengan sistem plasma dengan penghasilan Rp 2 juta per bulan. Yang ada mereka yang tanahnya telah diserobot hanya mendapat Rp Rp 225 ribu per bulan. "Jadi sawit itu bukan untuk menyejahterakan, tapi menyengsarakan," ujar mantan ketua RT itu.

Karena itu, warga Desa Bararawa sedang berupaya bisa mendapatkan hak pengelolaan kehutanan sosial hutan rawa gambut agar lahan tidak dijual. Pada 1960-an, mereka harus membayar pajak bumi (PBB) dan bangunan untuk kalang (kandang kerbau rawa) yang mereka bangun. Tapi, kini tak ada lagi. Karani menunjukkan salah satu surat PBB kalang milik salah satu warga yang tercatat dikeluarkan pada 1965 untuk pembayaran pajak 1964.

Gulma tumbuh subur di rawa gambut di musim hujan. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement