Selasa 31 Jan 2017 19:45 WIB

Propaganda ISIS dan Radikalisme Kelas Menengah

Noor Huda Ismail
Foto: dokpri
Noor Huda Ismail

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Noor Huda Ismail

Rasa heran, kaget, takut dan was-was biasanya adalah reaksi yang muncul ketika kita mendengar berita tentang sosok yang terlihat normal tapi kemudian bergabung dengan kelompok kekerasaan seperti ISIS. 

Apalagi jika sosok tersebut berasal dari kelas menengah seperti Triyono Utomo yang memperoleh master di universitas ternama di Australia dan pernah bekerja di departemen keuangan hingga bulan Februari 2016. Tapi kemudian, ia nekat ingin berhijrah ke Siria bergabung dengan ISIS.  Apa yang salah? Kenapa hal ini bisa terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, barangkali kita bisa meminjam beberapa “pemahaman kunci” di bawah ini:

Pertama: Fakta di lapangan menunjukkan bahwa orang terlibat dalam kelompok kekerasaan itu tidak tiba-tiba. Ada sebuah proses. Ibarat naik tangga, maka mereka ini akan naik dari tangga yang paling bawah kemudian naik ke tangga selanjutnya (Moghaddam 2005).

Tangga paling bawah ini biasanya diisi oleh orang-orang yang tidak puas atau kecewa pada lingkungan di mana mereka hidup. Pada tangga selanjutnya mereka kemudian bertemu dengan sebuah kelompok yang bisa memberikan jawaban atau harapan baru atas rasa kekecewaan tersebut. 

Pada tahap ini ada dua hal penting untuk dilihat, yaitu: “titik balik” kehidupan pribadi mereka dan peran “perekrut” yang menarik mereka dalam jaringan yang sudah ada. Sebelum era ISIS, perekrut itu harus ditemui secara langsung dalam dunia nyata. Sedangkan sekarang proses rekrutmen bisa dilakukan secara online

Kedua: Rata-rata yang terlibat dalam jaringan kekerasaan ini adalah orang-orang normal (Horgan 2002). Artinya mereka tidak menderita ‘patologi sosial’ seperti gangguan kejiwaan atau psikopat. Mereka itu hanya mempunyai cara pandang yang berbeda dengan kebanyakaan dari masyarakat umum 

Mereka merasa bahwa masyarakat ini telah “salah jalan” sehingga mereka perlu “meninggalkan” cara orang hidup kebanyakan itu.  Dalam kondisi ini, mereka kemudian merasa menjadi sosok pilihan, yang oleh karena itu perlu bersikap berbeda. 

Ciri utama dalam proses ini adalah ketika mereka pelan-pelan menarik diri dalam kehidupan biasa baik itu secara pemikiran maupun sikap.  Di titik inilah, keluarga terdekat, teman atau guru hendaknya bisa segera melakukan intervensi dengan mendorong mereka untuk membuka diri dan merayakan perbedaan. 

Ketiga: Adalah salah besar jika kita melihat ISIS itu hanya sebagai kelompok kekerasaan saja.  Benar bahwa di media mainstream kita menyaksikan bagaimana kebrutalan yang telah dilakukan oleh ISIS. Namun pada saat yang sama, ISIS juga memberikan tawaran “alternatif” hidup baru, yaitu hidup dalam naungan khilafah Islam. 

Apalagi jika ‘jualan’ ini kemudian dikemas dengan cara ‘testimony’ atau kesaksian nyata dari orang-orang yang telah berhasil “hijrah” melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Instragram, Telegram, YouTube. 

Melalui media ini, mereka menunjukkan bahwa bahwa ISIS ini adalah “negara” yang mempunyai wilayah, penduduk, bank, rumah sakit dan bahkan janji mendapatkan gaji. Ini adalah bentuk komunikasi yang sangat efektif untuk menggerakkan orang untuk tertarik bergabung ISIS. 

Tentu dalam propaganda ini tidak akan ditunjukkan bahwa ada di dalam tubuh ISIS inipun terjadi perpecahan. Seperti yang telah diceritakan oleh beberapa yang telah kembali ke Indonesia, perpecahan ini disebabkan oleh kasus korupsi, rebutan perempuan dan juga posisi orang Indonesia yang selalu saja di bawah komando orang-orang dari negara Arab atau Rusia yang mempunyai badan lebih besar dan fasih berbahasa Arab. 

Oleh karena itu, jika tiga “pemahaman kunci” di atas untuk membaca fenomena terpesonanya Triyono Utomo untuk bergabung ke ISIS, barangkali kita sedang melihat “puncak gunung es” munculnya radikalisasi yang justru terjadi di kalangan kelas menengah Indonesia. 

Meskipun mereka ini terpenuhi secara materi, namun ada rasa kehausan spirititual yang menurut mereka hanya terpuaskan jika mereka menjadi bagian dari khilafah Islam.  

Rasa haus spiritual ini juga tidak hadir tiba-tiba. Bisa jadi justru ketika mereka sedang belajar atau bekerja di negara yang tidak berdasarkan Islam seperti Australia, Amerika, Inggris, Jepang, Korea atau yang lainnya. 

Mereka resah melihat dan mengalami berbagai tata nilai yang tumpang tindih dan menurut mereka tidak “Islami”. Kegalaun yang awalnya berasal dari individu ini kemudian terwadahi dalam kelompok yang berafiliasi secara ideologi seperti ISIS ini di negara-negara tersebut. 

Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa aliran dana dari luar negari untuk gerakan ini semakin menguat. Kita juga melihat pergeseran profile orang-orang yang direkrut oleh ISIS. Pada paruh waktu 2014-2015, ISIS mengejar kuantitas sekarang beralih pada kualitas. 

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, tahun 2016, WNI yang dideportasi oleh pemerintah Turki mempunyai latar belakang profesional beragam seperti pilot, ahli keuangan, ahli desain, ahli komputer, dokter, perawat dan profesi-profesi lain yang dapat digunakan untuk membangun “negara” ala ISIS. 

Padahal hari ini, ISIS dalam kondisi terjepit oleh serangan koalisi. Bagaimana mereka bisa membangun dalam kondisi perang? Lalu bagaimana pula nasib para WNI kita terutama para perempuan dan anak-anak yang sekarang terjebak di dalam “penjara besar” ISIS di Raqqa itu? Akankah kita biarkan mereka di sana tanpa bantuan negara kita? 

*Noor Huda Ismail, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement