REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Priyantono Oemar
Masyarakat memberdayakan diri untuk menciptakan kemakmuran hijau bersama organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Mereka berorganisasi bahu-membahu untuk bisa berdaya secara ekonomi sekaligus menyelamatkan lingkungan. Ini catatan wartawan Republika, Priyantono Oemar, tentang upaya komunitas bersama dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah mengentaskan kemiskinan.
Air rawa adalah keseharian mereka, tetapi tak menghalangi kehidupan sosial mereka. Pengajian rutin diadakan di mushala-mushala kampung mereka. Harapan terhindar dari serbuan kebun sawit telah menjadi doa keseharian mereka.
Beberapa warga hadir terlambat pada pertemuan Selasa (10/1) malam di rumah Bakri di Desa Baruh Jaya, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Mereka memberi tahu harus mengikuti pengajian terlebih dulu malam itu, setelah siang harinya maiwak (mencari ikan) di rawa.
Usai berbincang malam itu, Bakri memperlihatkan ikan haruan (gabus), ikan papuyu (betok), dan ikan sepat, hasil maiwak untuk sarapan besok. "Setelah ada sawit, sekarang susah ikan," ujar Anes, tetangga Bakri.
Memasuki jalan satu ruas menuju kampung mereka, sangat mudah menjumpai mushala dengan jarak yang berdekatan. Ini satu-satunya jalan darat di depan rumah di Desa Baruh Jaya. Selebihnya air mengelilingi desa itu dan juga desa-desa lainnya di wilayah Nagara.
Seorang petani sedang maiwak (mencari ikan) di rawa gambut. (foto: Priyantono Oemar/ Republika)
Nagara merupakan bekas Kota Kademangan di masa kolonial Belanda, yang kini terbagi tiga kecamatan; Daha Selatan, Daha Barat, dan Daha Utara. Wilayah Kademangan di masa lalu kini terbagi dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Utara.
"Tiap RT ada mushala, jadwal pengajiannya berbeda-beda tiap harinya," ujar Bakri kepada Republika dalam perjalanan ke Pasar Nagara, Rabu (11/1) pagi. Pasar ini terletak di Desa Tumbukan Banyu, di seberang Sungai Nagara dekat Masjid Jami Ibrahim Al-Habsyi.
Masjid yang berada di sisi Sungai Nagara di Desa Sungai Mandala ini menjadi monumen kehadiran Habib Ibrahim Al-Habsyi yang meninggal pada 1935. Sampai menjelang kemerdekaan, daerah sini dikenal sebagai Serambi Makkah. Ada banyak ulama di sini sejak abad ke-18. Ulama terkenal dari Nagara saat itu adalah Datu Daha (Muhammad Thaher bin Haji Syahbuddin) yang sezaman dengan Datu Kalampaian. Datu Kalampaian adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang lahir pada 1710.
Di musim hujan, ketika air pasang, warga rawa gambut di Nagara ini banyak yang maiwak, sebutan untuk mencari ikan dalam bahasa Banjar. Ikan saluang, sepat, haruan (gabus), papuyu (betok), hidup di daerah mereka. "Musim kering tanam semangka, musim basah maiwak," ujar Anes, warga Baruh Jaya, menyebut maiwak untuk kegiatan mencari ikan.
Tetapi, menurut Darpini, mantan ketua RT di Baruh Jaya, kehadiran kebun sawit telah mengurangi potensi ikan di wilayah mereka. "Perusahaan sawit telah menyerobot tanah kami pada 2009, ketika kami sedang tidak menggarap lahan," ujar Darpini.
Seorang petani sedang maiwak (mencari ikan) di rawa gambut. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)
Mereka hanya mengolah kebun rawa gambut tanpa bakar ketika air sedang surut. Di musim penghujan, ketika mereka tak mengolah lahan, perusahaan sawit menggaruk tanah mereka dengan alat-alat berat.
Kehadiran sawit itu berpengaruh pada kehidupan ikan. Enam puluh alat penjebak ikan, tampirai, dipasang, Anes hanya mendapat delapan kilogram setiap harinya. Tentu tak sesuai dengan biaya transportasi dan biaya beli tampirai, Rp 27.500 per buah. Agar tampirai tak dirusak biawak, tiap hari harus diperiksa. Perahu kelotok menjadi alat transportasi dengan kebutuhan tiga liter solar per hari. "Sebelumnya, satu tampirai bisa dapat satu kilogram ikan dan dijual dengan harga Rp 40 ribu per kilogramnya," ujar Anes.
Tinggal di daerah rawa gambut sudah gerenasi ke lima, mereka sudah beradaptasi dengan ekosistem rawa gambut. Tak ada keinginan meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di luar bidang pertanian.
Anes menjadi satu dari sedikit petani di Baruh Jaya yang menanam padi, selain menanam semangka. Dari tiga hektare lahan yang ia punyai, hanya 0,5 hektare yang ia tanami padi sihirangan. Mereka bisa naik haji atau umrah bekali-kali. Rabiatul, misalnya, sudah naik haji tiga kali dari hasil pertaniannya. Sekarang sedang menunggu jadwal pergi haji untuk keempat kalinya.
Mereka harus menempuh perjalanan sejauh 15 km untuk bisa mencapai kebunnya, menggunakan perahu kolotok, selama sekitar satu jam. Masing-masing keluarga memiliki kebun yang luas. Bersama sami dan ketiga anaknya, Rabiatul mengelola kebun seluas 15 hektare. Ia menanam semangka, kacang, ubi, dan sabagainya.
Ia menanam kacang tunggak –orang Banar mengenalnya dengan kacang pengantin, lantaran sering dipakai untuk masakan di acara pernikahan. "Sepikul harganya Rp 1,3 juta," ujar Rabiatul. Sepikul setara dengan 100 kg.
Bersama orang tua dan keempat saudaranya, Bakri mengolah sekitar 12 hektare kebun rawa gambut. Ia menanam semangka, terong, cabai, ubi, kacang. Bertani semangka, dengan 1.000 batang saja bisa menghasilkan 10 ton buah semangka. Satu batang semangka, rata-rata menghasilkan 10 kg.
Harga paling bagus mencapai Rp 5.000 per kilogram. Paling rendah pernah hanya Rp 600 per kilogram, ketika hasil panen melimpah. Sekali panen di Nagara bisa menghasilkan 1.000 ton buah semangka.
Ketika di musim panen hanya ada 40-50 ton per hari, harga semangka mencapai Rp 5.000 per kilogram. Harga di angka Rp 3.000 per kilogram ketika per hari terpanen 300-400 ton. "Seribu ton ke atas per hari, harga jatuh di angka Rp 600 per kilogram," ujar Bakri.
Seorang buruh tani sedang memberi pupuk di kebun semangka Lamson. Lamson bisa menanam semangka di musim penghujan karena kebunnya dikeringkan oleh perusahaan kebun sawit. (foto: Priyantono Oemar/ Republika)
Dalam mengolah lahan, mereka melakukannya tanpa bakar. Gulma ditebas, kemudian disemprot herbisida untuk mematikan gulma-gulma baru. Lalu dibuatkan gundukan-gundukan setinggi 40 sentimeter dan segera diberi pupuk kandang sebelum bibit ditanam. "Butuh satu bulan persiapan," ujar Imol, panggilan akrab Abdul Karim, anak Rabiatul.
Gulma yang ditebas dijadikan alas pentup tanah, sehingga buah semangka nantinya tak bersentuhan langsung dengan tanah. Gulma-gulma itu, di antaranya ada purun tikus, rumput liar yang mampu mengikat jenis logam dalam tanah.
"Oleh petani, purun biasanya tidak dibakar, melainkan ditebas lalu ditumpuk, sehingga logam pada tanah yang sudah diserapnya terkumpul pada satu tempat," ujar Rizqi Hidayat, manajer Data dan Informasi Geospasial Walhi Kalsel, yang juga alumnus Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat itu. Menanam sekali setahun, setelah itu membiarkan rawa gambut tergenang air dan ditumbuhi gulma lagi –termasuk purun tikus—memberikan kesempatan rawa gambut memperbaiki ekosistemnya.
Tetapi, ketika rawa gambut itu diubah menjadi kebun sawit, kerusakan ekosistem rawa gambut menjadi jurang yang menganga lebar. Kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah rawa gambut pun terancam.
Turun-temurun mereka rela menempuh perjalanan air sejauh 15 km dari desa ke lokasi kebun. Mereka harus menutupi anggota tubuh dari sengatan matahari yang membakar. Biaya solar untuk perahu kelotok sejauh itu mencapai Rp 24 ribu – Rp 32 ribu per hari untuk 3-4 liter solar. Semuanya demi tetap terjaganya tempat hidup mereka untuk anak cucu, seperti yang telah dilakukan oleh pendahulu mereka yang meninggalkan rawa gambut tetap lestari untuk mereka.
Kehadiran kebun sawit tentu mengancam tempat hidup mereka. Guru besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) H Fadly Hairannoor Yusran PhD mengeluarkan kritik pedasnya. Membuka rawa gambut menjadi kebun sawit baginya laksana hewan terbodoh di dunia yang menghancurkan sarangnya sendiri. "Studi amdal tak menganjurkan tanam sawit di rawa," ujar dia saat ditemui di kampus Unlam di Banjarmasin, Jumat (14/1) pagi.
Mereka tak ingin kehilangan lahan pertanian. Mereka ingin makmur dengan lahan pertanian yang mereka miliki meski disertai rasa waswas setiap hari. Cemas tanahnya diambil perusahaan sawit.
"Kita masih bisa mengusahakannya tiap tahun, meski kadang rugi, tetapi punya tanah sendiri itu tetap nyaman berusaha, daripada menjadi buruh," ujar Lamson, petani semangka Desa Banua Hanyar yang menggarap rawa gambut di Desa Samuda, yang akan naik haji pada 2018, membawa rasa waswasnya ke rumah Tuhan.
Baca Juga Tulisan Selanjutnya:
Menjaga Rawa Gambut dari Serbuan Sawit
Menularkan Pengalaman Bertani Alami