Jumat 27 Jan 2017 06:24 WIB

'Perlu Ada Gerakan Diet Media Sosial'

 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Praktisi jurnalistik Agus Sudibyo mengajak masyarakat untuk melakukan diet media sosial untuk mengurangi asupan berita hoax (bohong), dan ujaran kebencian.

"Sekarang perlu ada gerakan diet media sosial. Jika gerakan ini berjalan, ujaran kebencian dan berita hoax tidak akan laku, karena masyarakat tidak mudah terkecoh atau tidak mudah terpengaruh," kata Agus Sudibyo dalam seminar "Peranserta Media Massa dan Media Sosial Dalam Menangkal Radikalisme" di Serang, Kamis (26/1).

Gunakan media sosial seperlunya, bukan berhenti sama sekali, melainkan hanyai mengurangi ketergantungan karena namanya diet, katanya. Ia mengatakan, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instragram adalah perusahaan media, sama halnya seperti media lainnya.

Ucapan, tulisan, gambar kegiatan masyarakat di media tersebut direkam oleh mesin dan nantinya dijual ke pengiklan atau untuk kepentingan lainnya. "Oleh karena itu harus berhati-hati dalam menggunakan media sosial tersebut karena kita dimanfaatkan oleh perusahaan media itu," kata Agus.

Menurutnya, semakin kontroversial berita di media sosial tersebut, maka iklannya dan sahamnya semakin naik. Saat ini ada sekitar 1,67 miliar orang di dunia yang menggunakan Facebook. Facebook, karenanya akan merekam perilaku atau kegiatan 1,67 miliar manusia di dunia yang dilakukan di media tersebut.

"Di Indonesia regulasinya belum jelas mengenai penggunaan media sosla tersebut. Seharusnya raksasa-raksasa media sosial dan mesin pencari data itu masuk menjadi subjek hukum di Indonesia, sehingga jelas pajaknya dan juga ada kantornya di Indonesia" katanya.

Menurutnya, dengan melakukan gerakan diet media sosial merupakan upaya pendidikan bagi masyarakat dalam menggunakan media sosial. "Memblokir situs-situs yang dianggap membahayakan diperlukan, tapi yang lebih penting adalah mendidik masyakat untuk paham terhadap media sosial," katanya.

Menurutnya, pemerintah Indonesia harus menjadikan Google, Facebook dan media sosial lainnya menjadi subjek hukum negeri ini, mengingat pada 2015 sekitar Rp 8,4 triliun dari masyarakat Indonesia diraup Facebook, tetapi tidak ada pajaknya dan tidak ada kantornya sehingga hak dan kewajibannya tidak jelas.

"Jangan jadikan media sosial itu menjadi penumpang gelap demokrasi di Indonesia. Karena mereka tidak bertanggung jawab atas berita-berita hoax yang meresahkan masyarakat," kata Agus.

Dengan demikian, kata dia, perlu memperbanyak pendidikan masyarakat salah satunya dengan berdiet media sosial, internet dan lainnya.

Di negara lain, antara lain di Jepang dan Korea masyarakat dididik menggunakan media sosial, smartphone sejak usia anak-anak, sehingga mereka paham. "Bahkan di negara lain penggunaan sosial media dan smartphone ini sudah dimasukan dalam kurikulum pendidikan," kata Agus.

Sementara itu narasumber lainnya Pengurus MUI Banten KH Zaenal Abidin Sujai mengatakan, media

adalah perangkat yang dimanfaatkan untuk menyampaikan berita atau khabar. Berita itu bisa mengandung kebenaran bisa juga kebohongan, tinggal masyarakat bagaimana menerima pemberitaan itu.

"Penerima berita penting untuk tabayun atau mengklarifikasi suatu berita, apakah berita itu layak dan bermuatan apa. Penerima berita harus menyaring dan mengolah dengan otak. Contohnya apakah suatu berita itu mengandung radikalisme atau bukan," kata KH Zaenal Abidin Sujai.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement