Jumat 27 Jan 2017 06:00 WIB

Ortodoksi Agama Vs Fundamentalisasi Liberalis

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Kafir itu konsep yang intoleran. Murtad itu konsep intoleran. Itulah penolakan-penolakan sejumlah pihak terhadap konsep kafir dan murtad. Hal itu dikemukakan non-Muslim ataupun kaum sekuler. Konsekuensinya, konsep kafir berarti antipluralisme. Bahkan ditarik lebih jauh lagi sebagai anti-Pancasila dan anti-NKRI.

Pada sisi lain, kafir dan murtad merupakan bagian dari konsep dasar dalam Islam. Kafir merupakan lawan dari iman, orang yang percaya pada Tuhan. Orang yang semula beriman lalu menjadi kafir maka orang tersebut menjadi murtad. Pengertian murtad sendiri adalah orang yang membangkang setelah ia mengetahui. Adapun kafir itu sendiri berarti tidak memercayai kebenaran, orang yang ingkar. Ingkar terhadap Tuhan. Konsep-konsep dasar Islam itu kemudian digugat dan harus didefinisikan ulang.

Terjadinya perseteruan ini berawal dari perbedaan konsep tentang manusia. Konsep toleransi yang kita kenal saat ini berasal dari sekularisme Barat, yang kemudian menjalar ke Indonesia, itu berawal dari premis bahwa manusia adalah makhluk yang otonom. Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Beragama atau tidak beragama merupakan pilihan belaka, apalagi cuma berbeda agama. Dalam dimensi ini bahkan yang percaya pada Tuhan pun tak harus beragama. Atas dasar pengertian itu tak bisa ada penghakiman sebagai kafir dan murtad. Konsep kafir dan murtad merupakan bentuk pembatasan dan pengkotak-kotakan. Konsep kafir dan murtad menjadi bertentangan dengan ide multikulturalisme.

Sedangkan dalam konsep Islam, bahkan pada agama-agama seumumnya, manusia bukan makhluk yang otonom. Betul bahwa manusia diberi kebebasan, namun kebebasan itu dibatasi oleh wahyu atau doktrin agama. Kehadiran konsep kafir dan murtad tak menghilangkan konsep toleransi dan multikulturalisme. Namun sejarah membuktikan bahwa agama telah menimbulkan peperangan dan konflik, bukan saja antar-agama tapi juga inter-agama. Apakah konflik dan perang melulu karena faktor agama? Tidak juga. Sejarah membuktikan bahwa konflik dan perang telah menjadi bagian dari sejarah umat manusia dari dulu hingga kini. Tribalisme, politik, ekonomi, bahkan budaya telah menjadi sumber-sumber penyebab konflik. Cinta seorang pangeran dan raja pun bisa menimbulkan perang.

Saat ini, sedang muncul gejala baru. Pertama, menguatnya ortodoksi agama. Kedua, fundamentalisasi liberalisme. Ketiga, menguatnya nasionalisme dan proteksionisme. Gejala ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di dunia. Globalisasi – dipicu akselerasi temuan teknologi informasi dan transportasi – banyak mengubah lanskap dunia. Setiap perubahan selalu mengguncang tatanan, terutama sosial, ekonomi, dan politik. Hal itu kemudian menggedor sendi-sendi moral, agama, dan budaya. Respons pertama adalah menguatnya ortodoksi, salah satunya ortodoksi dalam agama. Umat Islam adalah yang paling banyak diterjang gedoran ini karena ada kombinasi dengan soal-soal lain. Di antara wujud ortodoksi itu adalah nyaringnya teriakan “kafir”. Mereka bukan saja menuding ke pihak yang memang kafir tapi juga munculnya paham takfiri, yaitu mengkafirkan sesama Islam karena tak satu golongan. Uniknya, kelompok takfiri justru tak ikut terlibat dalam kisruh yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Namun, semua itu telah menimbulkan inflasi kata “kafir”. Tentu saja, setiap yang berlebihan pasti menimbulkan perlawanan, bahkan bisa tak kalah keras.

Di sisi lain, ada keanehan dari perilaku kaum liberalis. Mereka tak lagi toleran dan multikultural. Mereka menyerang kaum ortodok agama dengan cara yang primitif: kriminalisasi, pengekangan kebebasan, bahkan ujaran-ujaran kebencian serta prosekusi kebengisan dan represi. Ini tak pernah terjadi dalam sejarah. Terjadi proses fundamentalisasi liberalisme, sesuatu yang contradictio in terminis. Mereka memperjuangkan kebebasan dengan cara yang justru bertentangan dengan prinsip kebebasan yang diperjuangkan itu sendiri.

Situasi yang diametral ini berkelindan dengan kesenjangan ekonomi, perbedaan dan perebutan kekuasaan, dan juga kerumitan-kerumitan sejarah. Klaim-klaim sejarah yang jungkir balik pun terjadi. Kaum kolaborator dan bahkan menjadi bagian dari kolonialisme Belanda justru kini mengklaim sebagai yang paling Merah-Putih. Hal ini hanya memperuncing masalah dan mengacaukan fondasi kebangsaan dan keindonesiaan.

Ada banyak hal yang harus dilakukan untuk mengerem laju yang tak sehat ini. Apalagi setiap paham memiliki cita-cita peradabannya sendiri, sebagaimana manusia adalah makhluk yang selalu menafsirkan dirinya sendiri (self-interpreting creatures). Pada titik inilah, pengertian toleransi dalam perspektif liberal tidak bisa memecahkan persoalan yang dipercayainya sendiri, yaitu makhluk yang menafsirkan dirinya sendiri. Pada titik ini kita bisa memahami terjadinya fundamentalisasi liberalisme. Ada keputusasaan. Untuk itulah, kita perlu menimbang sejumlah langkah ini.

Pertama, mengkaji doktrin-doktrin yang sudah mapan untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tak hanya doktrin keagamaan, tapi juga doktrin toleransi perspektif liberal. Kedua, menggencarkan dialog dan musyawarah serta memperkuat kampanye kerukunan. Ketiga, melakukan penegakan hukum secara selektif, jujur, dan fair. Keempat, menghindarkan cara-cara represi, otoriter, dan pengutamaan pendekatan kekuasaan lainnya. Kelima, kembali ke sistem dan moral Pancasila dalam pembangunan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Pemerataan ekonomi merupakan keharusan mendesak, dan praktik demokrasi yang sehat sudah harus segera diwujudkan.

Dalam situasi ini, kita membutuhkan kepemimpinan politik yang jernih, waras, dan bijak. Pendekatan law and order sangat tidak mencukupi, bahkan jika menjadi instrumen tunggal justru menjadi faktor pemecah belah. Kita tak hanya butuh pemimpin yang pandai menjaga kekuasaan tapi justru yang utama adalah kita membutuhkan pemimpin yang pandai menjadi penyemangat dan pemandu bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement