REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki menilai perlu adanya Undang-Undang untuk menindak praktik korupsi di sektor swasta.
"Badan Sertifikasi Nasional (BSN)sudah menggunakan ISO 3301 yaitu tentang mencegah tawaran suap dari sektor bisnis tetapi saya kira perlu juga Undang-Undang yang bisa "mengkriminalisasi" praktik korupsi di dalam swasta sendiri," kata Teten di sela-sela acara peluncuran Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2016 yang diselenggarakan Transparency International Indonesia di Jakarta, Rabu (25/1).
Menurutnya ada dua celah masuknya yaitu dari sisi pemerintah sendiri dan sektor swasta, terutama soal pengadaan barang dan jasa di dalam pemerintahan.
"Jadi kami sedang berusaha dari sisi pemerintah bagaimana peluang korupsi di pengadaan barang dan jasa itu mulai dari penganggaran sampai ke pengadaan tendernya itu seminimal mungkin peluang terjadinya korupsi kami batasi tetapi dari sisi penawaran korupsinya yaitu dari sektor swasta itu juga perlu kita beresi," jelasnya.
Sementara itu, kata dia, jika korupsi di sektor swasta sendiri biasanya terjadi dengan memanipulasi keuangan, aset, dan lain-lain. Ia mencontohkan, perusahaan swasta yang 'listing' di bursa kemudian masyarakat ternyata tertipu karena asetnya 'bodong' dan nilainya tidak sesuai karena perusahaan yang sehat tentu tidak akan melakukan praktik suap menyuap.
Sementara, dalam peluncuran Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2016 yang diselenggarakan Transparency International skor CPI Indonesia sebesar 37 dan menempati urutan 90 dari 176 negara yang diukur.
Skor Indonesia naik 1 poin dan turun dua peringkat dari tahun sebelumnya. Kenaikan tipis skor CPI Indonesia hanya mampu menyalip Thailand dengan skor 35 di mana sebelumnya selalu berada di atas Indonesia sejak 5 tahun terakhir.
Peningkatan skor CPI 2016 itu, disumbangkan oleh paket debirokratisasi (penyederhanaan layanan perizinan, perpajakan, bongkar muat dan lain-lain), pembentukan satgas antikorupsi lintas lembaga (Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi/Stranas PPK, Saber Pungli, reformasi hukum, dan lain-lain) yang dinilai efektif menurunkan prevalensi korupsi.
Namun, kenaikan skor CPI ini belum mampu mengungguli Malaysia (skor 49), Brunei Darussalam (skor 58), dan Singapura (skor 85). Indonesia hanya sedikit lebih baik di atas Thailand (skor 35), Filipina (skor 35), Vietnam (skor 33), Myanmar (skor 28), dan Kamboja (skor 21). Teten pun berharap skor Indeks CPI yang diraih Indonesia pada tahun ini lebih baik lagi karena pada 2016 hanya naik 1 poin.
"Pasti Presiden (Joko Widodo) kita juga tidak senang kalau poin CPI kita hanya naik ke 1 digit ya, 1 poin. Kami ingin skornya lebih baik ya," katanya.
Menurut Teten, indeks CPI saat ini menjadi acuan bisnis dan investasi karena kalau CPI kita semakin baik maka akan berimbas pada dua hal.
"Pertama kemudahan bisnis di dalam negeri makin baik, potensi suap makin kecil, dan ada kepastian bisnis karena ada kepastian hukum mengingat orang tidak akan ragu untuk bisnis karena mereka yakin asetnya tidak hilang. Jadi hal itu yang penting," ujarnya.