Selasa 24 Jan 2017 17:58 WIB

ABK Asia Tenggara Rentan Alami Diskriminasi

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Pemerintah Indonesia diwakili TNI menjemput 4 (empat) WNI Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Tunda TB Henry yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf dari Pemerintah Filipina.(foto : Dok. Puspen TNI)
Foto: dok. Puspen TNI
Pemerintah Indonesia diwakili TNI menjemput 4 (empat) WNI Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Tunda TB Henry yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf dari Pemerintah Filipina.(foto : Dok. Puspen TNI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak buah kapal (ABK) asia tenggara tercatat yang paling banyak mendapatkan tindakan diskriminatif saat bekerja. Abdul Halim dari Pusat Kajian Maritim mengatakan persoalan ini terjadi karena secara sistemik memang para ABK dari asia tenggara khususnya Indonesia banyak yang tak memiliki skill yang mumpuni.

Halim mengatakan tercatat paling tidak lebih dari 143 ribu ABK di Asia Tenggara yang memang mendapatkan prilaku diskriminatif. Ia mengatakan pemerintah kecolongan saat fase penyiapan tenaga kerja. Ia mengatakan banyak ABK yang tak memiliki skill.

"Fase penyiapan tenaga kerja ini pemerintah dalam hal ini adalah lemabaga negara yang terkait tenaga kerja diatas kapal gak menyiapkan pelatihan untuk ABK kita. Sehingga mereka gak ada kemampuan diatas negara tetangga," ujar Halim saat dihubungi Republika, Selasa (24/1).

Halim mengatakan kaitannya dengan itu harus ada pola yang sistematis untuk penetapan tenaga kerja. Ada banyak kementerian lembaga negara yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Ia menilai Kemenlu, Kemenaker, KKP dan Kemenhub perlu merumuskan skema penyiapan tenaga kerja itu.

Halim menjelaskan fase kedua saat mereka bekerja ini ada dua kejadian. Pertama, beberapa ABK memang legal namun karena tak punya kemampuan mereka rentan dapat perlakuan tidak baik berujung intimidasi.

"Kedua yang illegal, mereka dapat yang lebih parah. Karena illegal mudah diintimidasi dan menerima perlakuan kekerasan," ujar Halim.

Masalah ini kemudian kerap terjadi dan berlarut karena persoalan ketiga saat mereka kembali pulang gak ada upaya pemerinyah untuk melakukan pendalaman. Sehingga pemerintah tidak bisa menarik benang merah persoalan mendasar kasus ini.

"Tiga fase ini belum dilakukan," ujar Halim.

Kedepan menurutnya, pemerintah tinggal menjalankan landasan hukum yang memang sebenarnya sudah ada. KKP mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 71 Tahun 2016 penempatan awak kapal ikan. "Tinggal diimplemntasikan saja secara sungguh sungguh. Jadi kejadian ini gak terjadi lagi," ujar Halim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement