REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lurah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Yuli Hardi menjadi saksi fakta perdana yang memberikan keterangan dalam sidang lanjutan kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1). "Sekitar 100 orang yang hadir di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), tidak pakai tenda dan panggung, Pak Ahok pidato berdiri, beranjak dari kursi lalu pidato," kata Yuli Hardi menjawan pertanyaan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dalam pidato itu, dia mengatakan, Ahok menjelaskan tentang program budidaya ikan kerapu. "Seingat saya Pak Ahok juga akan usulkan ke presiden soal raskin akan pakai kartu sehingga warga bisa beli beras sesuai selera masyarakat setelah itu ada program panen raya juga," kata Yuli Hardi.
Soal penodaan agama yang dilakukan Ahok, ia menyatakan baru mendengar soal berita tersebut melalui televisi dan juga akun Youtube. "Menurut berita pada saat sambutan pidato (terjadi penodaan agama) yang sebut Al-Maidah ayat 51. Secara detil tidak ingat, karena saya kurang fokus ke pidato Pak Ahok karena saya fokusnya ke lingkungan sekitar karena saya sebagai lurah," tuturnya.
Selain Yuli Hardi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga direncakanakan menghadirkan Nurkholis, petugas Humas Pemprov DKI Jakarta yang merekam pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman lima tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.