Ahad 22 Jan 2017 14:11 WIB

Pakar: KPK Bisa Jerat Emirsyah dengan UU Pidana Pencucian Uang

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Angga Indrawan
 Emirsyah Satar
Foto: Antara/Zarqoni Maksum
Emirsyah Satar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, menuturkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya juga langsung menggunakan Undang-Undang (UU) tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sejauh ini Emirsya dan Soetikno mastih dijerat UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus suap pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia.

"Mestinya sejak awal begitu melihat ada fakta menerima suap dan ada aliran dana ke mana-mana saja, itu mindset-nya mereka ke TPPU. Tapi kok KPK seperti punya kendala, sehingga tidak mau menggunakan TPPU, atau bahkan jangan-jangan ini bukan kendala, bahwa mereka ini tidak mau repot," kata dia, Ahad (22/1).

Yenti menjelaskan, ketika KPK sudah bicara soal pemblokiran rekening, dan hendak melakukan penelusuran ke mana saja aliran dana suap tersebut maka lembaga antirasuah itu harus juga menggunakan UU tentang TPPU. Penelusuran ini terkait bukti bagaimana dan ke mana aliran dana suap yang berasal perusahaan Rolls-Royce itu.  

"Suapnya bagaimana dan ke mana, di situ sudah masuk ke TPPU. Nah tanpa disadari KPK sudah melakukan proses TPPU tapi dia tidak mau mengaku. Malah enggak mau pakai UU TPPU. Mereka enggak melihat strategi bahwa UU TPPU itu diciptakan sebagai strategi untuk lebih mudah menelusuri korupsinya," ujar dia.

Jika menggunakan UU TPPU, lanjut Yenti, justru akan mengungkap aliran dana korupsinya sampai tuntas. Sehingga, yang patut diincar oleh KPK, bukan hanya soal tersangka sebagai individu, melainkan juga harta kekayaan yang dihasilkan dari korupsi. 

"Selain memidanakan pelakunya, juga uang yang diterima itu harus dirampas dan diserahkan ke negara. Masalahnya, KPK seperti hanya mau memidana orangnya, padahal bukan itu, kita ingin dua-duanya, orangnya dikirim ke penjara, dan uangnya dirampas atau dikembalikan ke negara," kata dia.

Yenti menambahkan, kalau mengenakan TPPU, maka ada proses yang lebih cepat. Tim penyidik akan mencari sendiri uang di mana dan ke mana alirannya. Kemudian, termasuk melakukan langkah-langkah pengamanan terhadap harta kekayaan itu. Misalnya dengan diblokir, dibekukan, ataupun dengan cara-cara lain. 

"Kalau menggunakan UU tipikor kan harus minta izin dulu ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Kalau ini (TPPU) enggak, begitu gunakan sangkaan TPPU, penyidik bisa langsung ke bank langsung atau lewat PPATK, tanpa minta izin ke OJK. Kok peluang kemudahan ini enggak dibaca. Apa enggak mau repot. Tapi yang jelas itu merugikan masyarakat, untuk apa kita bikin UU itu," tutur dia. 

KPK resmi menetapkan dua tersangka pada kasus tindak pidana korupsi terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indoensia (Persero) Tbk, pada Kamis (19/1) lalu. Dua tersangka itu yakni Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2014 Emirsyah Satar (ESA) dan Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd. Soetikno Soedarjo (SS).

Emirsyah disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-undang tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan Soetikno, yang diduga berperan sebagai pemberi, disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP. 

Tersangka Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno dalam bentuk uang dan barang. Uang yang diterima Emirsyah, berbentuk mata uang Euro dan dolar Amerika, yaitu sebesar 1,2 juta Euro dan 180 ribu dolar Amerika. Barang yang diterimanya yakni senilai 2 juta dolar Amerika, di mana tersebar di Singapura dan Indonesia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement