REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika.co.id, Priyantono Oemar
Tiba di Amuntai sudah malam. Sebelum tidur, kami membuat rencana pergi ke Taman Putri Junjung Buih untuk menengok Pasar Kamis pukul 05.00 esok hari. Setiap Kamis Subuh, para perajin di Amuntai akan menjual produk kerajinan mereka di sepanjang jalan sisi taman.
Pagi itu kami kesiangan. Pukul 05.45 WITA baru berangkat dari hotel, berjalan kaki. Pukul 06.10 WITA baru tiba di Pasar Kamis. Satu jam di pasar itu, tak ada barang yang menarik hati. Pada 2012, saya memborong topi purun di Barabai, ibu kota Hulu Sungai Selatan. Topi itu lebar, mirip topi Meksiko. Hingga kini topi-topi itu masih bagus.
Widya Utami, teman seperjalanan dari Jakarta, juga tak menemukan produk yang ia cari. Tas purun. Ada banyak tikar dijual, tapi tahun lalu Widya sudah memborong tikar purun dari Desa Padamaran Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Maulida Azizah, manajer Pengelolaan Sumber Daya Walhi Kalimantan Selatan, tertarik pada tas kecil dengan tali panjang, tetapi itu hanya satu-satunya dan merupakan pesanan orang. Akhirnya, ia hanya membeli tikar dengan motif hiasan ikan, seperti motif tikar yang sudah dibeli Rizqi Hidayat, manajer Data dan Informasi Geospasial Walhi Kalimantan Selatan.
Ketika saya mendapat nomor kontak perajin tas purun, Hustaniah, dari Retno di Institut Bentang Meratus (IBM), jarum jam sudah menunjuk pukul 07.25 WITA. Rupanya, pagi itu Hustaniah juga menggelar produk kerajinannya di pasar, tetapi ketika saya meneleponnya, ia sudah ada di rumah. "Tas-tasnya sudah habis," kata Hustaniah, ketua Kelompok Perajin Purun Kembang Kuning itu.
Seorang perajin sedang membersihkan purun sebelum dijemur. (foto: Priyantono Oemar/ Republika)
Kendati begitu, saya tetap membuat janji untuk mengunjungi rumahnya untuk melihat proses pengolahan kerajinan dari rumput liar yang tumbuh di rawa gambut itu. Hulu Sungai Utara (HSU) yang beribu kota di Amuntai, merupakan kabupaten yang memiliki wilayah rawa gambut seluas sekitar 29 ribu hektare.
Janji itu masih saya beri catatan, sepanjang masih cukup waktu sekembalinya dari Desa Bararawa, Kecamatan Paminggir. Di Paminggir ada yang perlu dilihat, yaitu peternakan kerbau rawa yang terancam oleh rencana kehadiran kebun sawit. Bupati HSU mengeluarkan izin baru kebun sawit di saat Presiden Jokowi memperpanjang masa moratorium izin perkebunan sawit.
Di Paminggir, purun juga sumber penghasilan tambahan. Pencari purun di rawa menjual purun basah seharga Rp 1.500 per ikat, cukup untuk dibuat satu tikar seukuran sajadah. Tikar ukuran ini dijual dengan harga Rp 5.000. ‘’Banyak pesanan dari Jawa untuk alas kursi,’’ ujar Masniah, perajin tikar purun di Desa Bararawa.
Tidak mengelola lahan pertanian, warga Paminggir mengandalkan peternakan kerbau rawa dan perikanan air tawar. Kaum perempuannya, antara lain membuat kesibukan dengan menganyam purun.
Purun yang tumbuh di rawa memiliki arti penting bagi masyarakat rawa gambut. Tanaman itu, menurut Maulida, dapat menjaga tanaman petani dari serangan hama. ‘’Purun sebagai tanaman perangkap, serangga memilih hinggap di purun daripada di padi,’’ ujar Maulida.
Hama penggerek batang padi, misalnya lebih memilih meletakkan telurnya di batang purun daripada di batang padi. Purun, tambah Rizqi, juga mampu menurunkan kadar besi tanah. ‘’Oleh petani, purn biasanya tidak dibakar, melainkan ditebas lalu ditumpuk, sehingga logam pada tanah yangsudah diserapnya terkumpul pada satu tempat,’’ ujar alumnus Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat itu.