Rabu 18 Jan 2017 07:16 WIB

Hoax dan Pudarnya Kejantanan Berpendapat

Red: M Akbar
Firsan Nova
Foto: istimewa
Firsan Nova

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Firsan Nova (Managing Director NEXUS Risk Mitigation and Strategic Communication)

"Rumors are carried by haters, spreaded by fools, and accepted by idiots"

Hoax menjadi isu paling menarik minggu ini. Seorang teman menggagas kampanye sosial "Turn Back Hoax" pada  Ahad (8/1) di Bundaran HI dan enam kota besar lainnya di Indonesia. Acara tersebut diadakan untuk mengatasi maraknya berita palsu alias hoax yang beredar di internet yang berpotensi menyesatkan banyak orang.

Hingga kini sudah ada ribuan berita hoax yang disebarkan melalui media sosial. Internet seringkali disalahgunakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi untuk tujuan tertentu.

Secara sederhana hoax adalah sebuah pemberitaan palsu. Ditujukan untuk mengarahkan publik agar memercayai sesuatu tanpa berdasar data empirik. Maka hoax adalah produk yang lahir tanpa kandungan kebenaran. Ia adalah anak haram informasi.

Masalah mentalitas

Fenomena hoax adalah refleksi rendahnya mental masyarakat. Kurangnya kedewasaan menerima perbedaan dan rendahnya etika berpolitik. Hal ini diperburuk dengan situasi masyarakat tak pernah memverifikasi informasi yang diterima. Jika sesuai dengan persepsi Mereka, mereka akan percaya dan menyebarkan luaskan informasi tersebut.

Bukan rahasia jika pada tataran dunia maya, perang politik dan SARA berlangsung tiap hari, tiap jam, tiap menit, tiap detik. Salah satu senjata yang kerap dimainkan oleh pihak yang berlawanan adalah hoax. Apa pun isu dan masalahnya, tak peduli siapa pun musuhnya, alat serangnya tetap hoax.

Jelas tidak dapat dipungkiri, hoax telah menjadi problem besar dalam komunikasi masyarakat kita saat ini. Sebuah satanic circle tak berujung. Karena Korban dan juga pelaku hoax bisa saja orang yang sama.

Munculnya hoax

Di Indonesia sejauh ini penyebaran berita hoax disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama Kekecewaan pelanggan terhadap layanan perusahaan atau dalam kontek politik, kekecewaan masyarakat pada pemerintah ataupun tokoh tertentu.

Kedua, untuk tujuan lucu-lucuan atau mendramatisasi sebuah kejadian. Ketiga mereka yang iseng mencari ketenaran, bangga berita hoax yang mereka buat ada di mana-mana. Keempat mencoba menyebarkan virus dan mengakali publik untuk mendapatkan email, username, dan password, atau bahkan rekening bank.

Senjata politik dan pragmatisme komunikasi

Hoax menjadi lebih brutal ketika masuk ke wilayah politik dan SARA. Ia menjadi senjata untuk mendukung maupun untuk menyerang. Rasionalitas masyarakat tertutup oleh ketidakpedulian atas validitas informasi yang mereka terima. Ketidakpedulian tersebut lahir akibat "nafsu" mendukung atau menyerang seseorang. Direkayasa oleh pembuat hoax dan disebarkan oleh mereka yang sepaham. Rumors are carried by haters, spreaded by fools, and accepted by idiots.

Hal ini merupakan ironi pertama. Masyarakat yang rasional kehilangan rasionalitasnya saat berada dalam wilayah dukung-mendukung dan benci-membenci. Mereka tidak lagi melakukan check and recheck ketika sebuah pesan masuk.

Ketika pesan tersebut menguntungkan kelompok mereka, mereka langsung menyebarkannya. Tak perlu verifikasi selama hoax tersebut menguntungkan kelompoknya. Ini ironi yang kedua. Masyarakat yang Mengabaikan kebenaran. Masyarakat yang kini terjebak pada pragmatisme komunikasi. Komunikasi menyerang (offensive communication) menjadi dekat dengan keseharian kita. Bangsa yang katanya dulu ramah dan penuh toleransi.

Hilangnya kejantanan berpendapat

Hal ketiga, terkait mental adalah hilangnya keberanian berpendapat. Sebelum dunia internet berkembang seperti ini, setiap orang harus menunjukkan identitasnya ketika berpendapat. Baik dalam surat pembaca, menulis artikel, ataupun saat wawancara dengan media.

Hoax selalu tak jelas siapa yang membuat. Saat ini seseorang bisa saja menyebarkan berita palsu sesuka hatinya. Tanpa melampirkan identitas. Artinya generasi penyebar hoax adalah generasi tak bernyali. Ketika diminta pertanggungjawabannya, selalu berkilah bukan mereka yang membuat. Artinya tidak ada keberanian untuk menjelaskan. Menyebarkan hoax tapi tak berani bertanggung jawab adalah ironi yang ketiga.

Meningkatnya berita bohong atau hoax, tak hanya terjadi di Indonesia. Amerika pun mengalaminya. Tentu tidak mudah mengatasi hoax, meskipun UU ITE telah dibuat, upaya untuk melawan hoax adalah upaya mencerdaskan bangsa.

Sebuah upaya membangun mentalitas bangsa. Sebuah pepatah Cina mengatakan daripada mengutuk kegelapan lebih baik mulai menyalakan lilin. Daripada mengutuk penyebar hoax lebih baik kita tidak turut serta. Berupaya menjadi masyarakat yang cerdas dalam berkomunikasi. Masyarakat yang memeriksa informasi sebelum menyebarkannya. "Be the change you want to see in the world." Mahatma Gandi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement