Ahad 15 Jan 2017 17:19 WIB

Tragedi Malari, Truk Reo Roda 10, dan Konflik Horizontal

Peristiwa Malari atau 15 Januari 1974
Foto:
Hariman Siregar pada peringatan '43 Tahun Malari' di Jakarta, (15/1).

Sebenarnya pada Januari 1974 itu menjadi hari-hari menyenangkan bagi kami. Kumpul kembali dengan sang ayah. Sebab sebelumnya selama 1,5 tahun, ia ditugaskan ke Irian Jaya. Membangun lapangan terbang Wagette di hutan belatara, sekaligus operasi keamanan di ujung timur, Indonesia. Logistik maupun perlatannya diterjunkan dari pesawat terbang lewat parasut maupun kapal laut dan sungai-sungai. Melawan ganasnya alam dan ancaman malaria.

Rupanya baru beberapa bulan saja menikmati kebersamaan, sudah menghadapi perintah operasi lagi. Untungnya tidak lama, hanya menghadapi demonstrasi para mahasiswa dan para perusuh yang membakar sejumlah kawasan di Jakarta.

Pasukannya bergabung ke Markas Kodam V Jayakarta di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, sebelum disebar ke titik-titik kerusuhan di Jakarta. Saat itu Panglima Kodam adalah Mayjen GH Mantik. Jenderal bintang dua berdarah Manado, Sulawesi Utara.

Sedangkan Komandan Yonzikon 13, Letnan Kolonel (Zeni) Parwoto Wirjo Pranowo, alumni Akmil Jurtek Bandung, 1960. Seangkatan dengan Soedibyo yang kelak menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).

Peristiwa Malari (Malapeta 15 Januari), baru saya pahami dengan lengkap saat kuliah semester lima di jurusan ilmu politik di Fisip Unas, Jakarta. Pembahasan masalah itu terungkap dalam mata kuliah konsensus dan konflik politik. Saat itu dosennya adalah Doktor Maswadi Rauf.

Itulah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Tokoh-tokohnya, antara lain Hariman Siregar dan Syahrir. Peristiwa yang terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta, 14-17 Januari 1974.

Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Karena dijaga ketat ABRI, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara.

Pada 17 Januari 1974, pukul 08.00 WIB, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar langsung oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing.

Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Usai demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, sebagian wilayah Jakarta terbakar. Tentara pun diperintahkan untuk konsinyir, terutama yang berdinas di kesatuan tempur maupun bantuan tempur.

Akhir dari peristiwa itu, Presiden Soeharto memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, dan langsung mengambilalih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan, termasuk membebas tugaskan Mayjen Ali Moertopo Kepala Bakin, Letnan Jenderal Sutopo Juwono digantikan oleh Mayjen Yoga Soegomo.

Itulah salah satu konflik elite politik pertama yang sangat mencuat di era pemerintahan Orde Baru. Konflik elite militer akan berimbas ke mana-mana dan mengancam stabilitas nasional. Tidak bisa dibayangkan jika konflik ini melibatkan kesatuan-kesatuan militer. Mereka hanya tahu perintah atasannya. Perintah adalah segalanya!
Presiden Soeharto saat itu 53 tahun, masih belum pensiun kendati sudah menjadi presiden. Ia masih militer aktif. Karena itulah jabatan Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban, langsung diambilalihnya.

Kita tidak bisa membayangkan jika punya presiden lemah saat terjadinya konflik elite. Apalagi yang melibatkan petinggi militer sekaligus memegang kendali mata rantai komando. Bisa-bisa terjadi perang saudara.

Saat ini gejala konflik horizontal terjadi di depan mata kita. Antar-komponen anak bangsa bertikai. Seperti ada yang mengadu domba. Entahlah. Kita tidak ingin konflik ini terus berlangsung. Kita inngin konflik segera berakhir dan semua komponen bangsa bisa bergandengan tangan.

Semoga pemimpin nasional kita bisa membaca suasana batin masyarakat yang sedang keruh.

Belajarlah dari sejarah bangsa, Tuan Presiden!

*Selamat Ginting, Jurnalis Senior Republika

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement