REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menentang kebijakan program Dokter Layanan Primer yang dijalankan pemerintah. Salah satu alasannya yakni dokter di tingkat layanan primer belum mendapatkan honor layaknya dokter spesialis.
"Dokter Layanan Primer (DLP) itu kan spesialis mengenai penyakit umum. Jasanya harus dihargai sesuai spesialis. Tapi dari skema pemberian insentif DLP belum layaknya spesialis tapi masih seperti dokter umum," kata Ketua Bidang Kajian dan Advokasi Kebijakan Pendidikan Kedokteran Masa Kini dan Mendatang Muhammad Akbar di Jakarta, Rabu (11/1).
Akbar mengetahui bahwa pemerintah menerapkan DLP itu merujuk negara-negara maju yang memiliki dokter-dokter spesialis penyakit umum. Akan tetapi, pengadopsian itu sejatinya berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia. Dia mencontohkan dokter spesialis penyakit umum di Amerika Serikat memiliki honor yang setara dengan dokter spesialis pada umumnya. Dalam beberapa kasus, dokter di suatu rumah sakit di AS turun ke fasilitas kesehatan setingkat puskesmas, tetapi secara insentif disamakan dengan honor dokter umum atau nonspesialis.
"Di negara kita, aturan DLP membuat dokter rela kerja di layanan primer tapi honornya tidak spesialis. Dibayar dengan honor umum, spesialis tapi dibayar umum," kata dia.
Terkait kewajiban pendidikan DLP, dia mengatakan IDI tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Dalam aturan mengharuskan dokter yang ingin mendapatkan gelar dokter spesialis DLP harus menempuh pendidikan terlebih dahulu selama dua tahun.
Padahal, lanjut dia, telah disusun Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 yang memiliki fungsi hampir sama dengan program pendidikan DLP. SKDI 2012 itu disusun dengan saksama oleh lintas sektor seperti dari KKI, AIPKI, Asosiasi Rumah Sakit, 72 fakultas kedokteran dan 36 kolegium ilmu kedokteran.
Maka, menurut Akbar, penyelenggaraan pendidikan dan segala hal terkait DLP dapat memberikan beban keuangan negara. Sebaiknya anggaran yang program DLP sekitar Rp10 triliun itu digunakan untuk kebutuhan kesehatan lain yang lebih mendesak seperti untuk pengadaan infrastruktur fasilitas kesehatan yang belum merata di banyak tempat di Indonesia.
"Sarana kesehatan kita saat ini tidak menunjang. Dokter punya kemampuan tapi tidak ada fasilitas. Misalnya pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan (THT) dilakukan dokter yang tempat praktiknya tidak memiliki fasilitas memadai, periksa kuping tidak ada lampu, masak pakai senter. Belum lagi distribusi obat, tidak mungkin di puskesmas hanya ada obat parasetamol dan CTM saja," kata dia.