REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai praktik dinasti politik tak selalu diartikan dengan praktik korupsi. Kasus korupsi, sambung JK, tidak hanya terjadi dalam praktik dinasti politik.
Hal ini disampaikan JK menanggapi masih banyaknya kasus korupsi yang terjadi dalam dinasti politik. Dalam kasus yang teranyar yakni kasus penangkapan Bupati Klaten, Sri Hartini pada akhir Desember.
"Soal dinasti itu yang korup ada yang dinasti, ada yang tidak. Tidak berarti begitu dinasti langsung korup, tidak. Ada juga katakanlah bukan dinasti, suatu kepemimpinan daerah yang kemudian beralih ke keluarga kan ada yang baik. Ada juga yang pemerintahan yang katakanlah bukan dinasti ada juga yang kena masalah," katanya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (6/1).
Karena itu, JK meminta agar tak mengaitkan langsung antara kasus korupsi dengan dinasti politik. Praktik dinasti politik ini bahkan juga terjadi di berbagai negara, seperti di Singapura, Amerika, Jepang, India, dan juga Malaysia.
"Jadi jangan langsung bahwa suatu pemerintahan yang berlanjut oleh keluarga langsung dianggap salah, karena itu terjadi di mana-mana. Di Singapura Lee Kwan Yu, kemarin Bush dua kali, di Jepang ada Fukuda, di Malaysia walau tidak berlanjut langsung ada Tun Razak dan Najib Razak, Mahathir punya anak jadi Menteri. Ndak apa-apa, dunia ini biasa saja. Apalagi India, ada Ghandi dan Nehru. Itu bersambung terus itu, tiga sambungan, tidak ada soalnya," jelasnya
Praktik dinasti politik ini, kata JK, juga tak dilarang dalam undang-undang. JK mengatakan, meskipun praktik dinasti politik pernah digugat di Mahkamah Konstitusi (MK), namun gugatan ini pun ditolak.
"Jadi jangan hanya anggap ini hanya, dan UU kita memperbolehkan, ada kan pernah juga yang mengajukan ke MK tapi ditolak. Karena ini dianggap hak asasi manusia (HAM), saya kira itu," ucapnya.
Seperti diketahui, banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat yang berada dalam praktik dinasti politik. Pada Desember 2016 saja, setidaknya ada dua kejadian tangkap tangan oleh KPK. Pertama adalah Wali Kota Cimahi, Atty Suharti Tochija, dan suaminya, Itoch Tochija, yang ditangkap. Pasangan suami istri itu dijerat dalam kasus dugaan suap pemulusan ijon proyek pembangunan tahap II Pasar Atas Cimahi.
Bagi Ketua KPK Agus Rahardjo, kasus ini menjadi bukti bahwa politik dinasti di daerah masih kuat. Mantan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto menilai, politik dinasti sangat lekat terhadap perilaku koruptif. Politik yang menurunkan kekuasaan hanya pada garis keturunannya berpotensi menjadi cikal bakal penyelewengan dan korupsi.