Kamis 29 Dec 2016 15:00 WIB

Pengamat: Ada Tiga Perubahan Pola Teroris

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Esthi Maharani
Sisa-sisa kerusakan akibat truk yang menabrak kerumunan orang di pasar Natal di Berlin, Jerman, Selasa, 20 Desember 2016.
Foto: AP Photo/Markus Schreiber
Sisa-sisa kerusakan akibat truk yang menabrak kerumunan orang di pasar Natal di Berlin, Jerman, Selasa, 20 Desember 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi terorisme diprediksi masih akan terus membayangi tahun 2017, terutama dari kelompok ISIS. Peneliti terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mengatakan ada tiga perubahan pola terorisme di tahun depan.

"Pertama adalah perubahan metode serangan, teroris akan meninggalkan model serangan konvensional misalnya bom dan menggantinya dengan metode lain yang lebih mudah dilakukan, " ujarnya, Kamis (29/12).

Hal tersebut merujuk pada fatwa Syekh Muhammad Al Adnani dari ISIS yang menyebutkan agar setiap anggota melakukan serangan dengan senjata yang dimiliki. "Kalau punya pisau gunakan pisau, kalau punya tongkat gunakan tongkat, bahkan ada instruksi agar menabrakkan mobil di keramaian seperti yang terjadi di Berlin, " kata Ridlwan.

Alumni Kajian Intelijen UI itu menyebutkan, metode serangan ini akan membuat aparat semakin repot. Dia mencontohkan di pesawat misalnya, teroris tidak perlu membawa bom, mereka bisa saja merusak pintu darurat dan itu sangat membahayakan penerbangan.

Kedua adalah perubahan target serangan. Saat ini, ISIS tidak hanya fokus pada aparat keamanan. "Target bisa sangat acak. Siapapun yang dianggap membahayakan kepentingan Isis bisa mereka serang. Bahkan tokoh agama sekalipun, " ujar Ridlwan. Ini dinilainya juga akan merepotkan aparat keamanan karena bisa terjadi di mana saja. Kewaspadaan diperlukan tidak hanya di objek vital saja tetapi juga di lokasi lokasi umum.

Ketiga adalah perubahan pola komunikasi teroris. Mereka menggunakan media sosial dan fitur komunikasi modern seperti telegram atau Whatssapp. Untuk itu, penanganannya membutuhkan keterampilan khusus dari aparat kontrateror, terutama dari komunitas  intelijen sinyal. Ridlwan mengatakan perubahan pola komunikasi ini juga menyulitkan deteksi. Kelompok teroris juga tidak perlu harus mempunyai rumah aman (safe house) atau base camp tetap karena bisa berkomunikasi di mana saja.

"Mereka juga bisa berbagi materi materi dan manual berbahaya dengan Whatssapp atau telegram, " kata Ridlwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement