Senin 26 Dec 2016 13:59 WIB
Peringatan Tsunami Aceh, Ahad 26 Desember 2004

Air Hitam Itu Menyeret Ayah yang Menggendong Anaknya

Kin Kale Ku bersama isteri dan ketiga orang putra-putrinya.
Foto: Istimewa
Kin Kale Ku bersama isteri dan ketiga orang putra-putrinya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kin Kale Ku*)

Pagi itu, aku sedang berbincang-bincang dengan tetangga yang datang berkunjung ke rumah  di Gampong Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Tiba-tiba saja bumi berguncang. Dari guncangan yang pelan hingga menjadi sangat kencang. Aku panik sembari berteriak melafazkan nama Allah, di sekelilingku orang-orang menjerit dengan ekspresi wajah yang sama, ketakutan.

Kami berhamburan ke luar rumah sambil berpegangan. Jangankan untuk berdiri, duduk pun seakan kami tak mampu, suara piring pecah dan perabotan yang jatuh dari dalam rumah tak terhiraukan lagi. Hanya gema takbir dan zikir yang terus menerus, tak hentinya keluar dari mulut setiap orang yang terus berpegangan satu sama lainnya.

Sekitar lima belas menit kemudian gempa pun berhenti. Gempa terbesar yang pernah kurasakan. Gempa terbesar yang pernah terjadi di Asia dan gempa ketiga terbesar di dunia sejak tahun 1900.

Kami pun masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah yang masih pucat. Evi, istriku yang sedang hamil besar tak henti-hentinya istighfar dan memegang dadanya. Kami mulai mengumpulkan barang-barang yang jatuh dan piring-piring yang pecah.

Tak seberapa lama aku memutuskan ke luar, ingin melihat bagaimana situasi pascagempa sekaligus ingin ke wartel untuk menghubungi keluargaku yang lain karena sinyal HP tidak berfungsi. Dengan mengendarai sepeda motorku, aku menuju wartel menghubungi orang tuaku di Takengon, setelah memastikan keadaan mereka di sana aman. Kemudian aku menghubungi kakak yang tinggal di daerah Cadek Kajhu untuk menanyakan keadaan mereka.

Namun, belum selesai aku berbicara tiba-tiba hubungan terputus. Aku segera membayar dan ke luar dari wartel itu, mengambil motor kembali dan pergi menuju Mesjid Lamprit yang tidak begitu jauh dari rumah kami. Banyak orang berkumpul di sana melihat kubah masjid tersebut runtuh.

Ketika sedang melihat-lihat tersebut lewat beberapa kendaraan perang TNI yang melaju kencang dari arah kota menuju arah Darussalam. Belum selesai mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba dari jalan arah rumahku berhamburan orang-orang lari, naik motor dan mobil menuju ke arah Jalan T Nyak Arif.  

Aku tercengang karena belum pernah melihat ribuan orang, tua muda, besar kecil dengan wajah pucat pasi tanpa membawa barang apapun berlari dengan sangat kencangnya. Aku dan orang-orang di sekitarku terkejut dan saling bertanya, "Ada apa"? aku bertanya kepada seorang anak yang kupaksa berhenti, masih­ terngiang jawabannya, "Cepat lari bang, air laut sudah naik".

Aku tercekat, panik serta-merta teringat akan keluarga yang ada di rumah. Istriku yang sedang mengandung lima bulan, dua adik ku yang masih gadis, seorang keponakan, dan seorang lagi familiku yang semuanya perempuan ada di sana. Bagai­mana ini?

Lututku bergetar dan mulut ternganga melihat kepanikan massa luar biasa di depan mataku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku memacu motorku menuju rumahku yang berjarak lebih kurang 600 meter dari tempatku berdiri melawan arus massa yang berlari ke arah berlawanan dengan ku.

Bukan perkara mudah kembali ke rumah di antara ribuan orang yang berlari berlawanan arah denganku. Banyak orang yang memakiku karena tersenggol dan banyak pula yang menyuruhku kembali dan memperingatiku untuk jangan kembali atau nanti mati. Tapi aku tidak peduli, yang ada di pikiranku adalah orang-orang yang aku cintai yang masih tinggal di rumah.

Kira-kira di tengah perjalanan menuju rumah aku terperanjat. Rumahku telah kelihatan walaupun masih berjarak sekitar 300 meter lagi, tapi tiang listrik dan pohon-pohon yang ada di depannya berjalan sendiri sebelum akhirnya jatuh satu persatu. Saat itu, aku belum melihat ada air. Aku lalu mendengar suara seperti suara deru pesawat terbang diselingi dengan suara seperti suara tembakan.

Kemudian rumah dari konstruksi kayu yang merupakan kantin sekolah di dekat situ berjalan dengan sendirinya. Aku sempat menghentikan motorku dan menjerit tampa sadar apa yang ku ucapkan. Lalu kupacu motorku hingga aku mulai melihat orang-orang sudah mulai jarang di hadapanku. Tiba-tiba aku bertemu satu demi satu dengan orang-orang yang tinggal di rumahku.

Sebelum aku bertanya, mereka sudah berteriak duluan: "Cepat bang, Kak Evi di belakang" sekonyong-konyong aku mendengar lagi kata-kata yang sama yang juga berteriak, "Cepat bang Kak Evi di belakang". Akhirnya aku menemukan istriku, yang tidak mampu berlari, hanya berjalan sambil menangis dan dia merupakan orang terakhir yang berlari di antara ratusan terakhir orang yang telah berlari.

"Cepat naik" kataku. Sekilas, sebelum aku memutar motorku, saat itulah aku melihat air tampak. Seorang ayah yang mungkin usianya sedikit di atasku sambil menggendong anaknya yang mungkin masih berusia tiga tahun, terseret sangat cepat di bawa air berwarna hitam setinggi hampir 1 meter. Air tersebut tidak menujuku, tetapi karena jalan tersebut merupakan jalan bersimpang empat, air tersebut datang melintang dengan jalan di mana aku berdiri.

Tanpa pikir panjang, aku segera memacu motorku dan aku bertemu dengan keponakan ku: "Naik," kataku. Dia pun naik, aku memacu lagi dan bertemu dengan adik ku, tapi motorku sudah tak memungkinkan untuk dinaiki seorang lagi. Aku memutar otak dan tiba-tiba dari persimpangan jalan lewat mobil.

Aku segera menyetopnya bermaksud untuk menaikkan adik ku, tapi mobil itu tidak mengindahkan (belakangan aku melihat mobil itu terbalik di sapu air) dan akhirnya aku menaikkan adik ku di bagian depan motorku. Jadilah, kami satu motor ber lima (plus anak ku yang masih di dalam kandungan).

Di antara suasana mencekam itu, aku juga berusaha mencari seorang adik dan familiku dan akhirnya bertemu. Dengan napas yang terengah-engah aku menyuruh mereka mengikutiku. Aku menoleh ke belakang, kulihat gumpalan air hitam mulai menuju kami.

Aku berpikir cepat dan akhirnya sasaranku adalah sebuah rumah mewah dua lantai di hadapan kami. Aku menyadari tidak mungkin lagi untuk berlari, aku dan semua orang yang bersamaku menuju ke rumah itu. Tampak seseorang keluar dari rumah itu, mengunci pintunya bermaksud lari keluar, aku berkata, "Jangan ke luar lagi bang, sudah tidak sempat lagi". Dia bingung, ternyata dia bukan pemilik rumah tersebut, hanya merupakan kerabat yang tinggal di situ.

Aku berteriak: "Cepat buka pintu ini kalau tidak aku dobrak". Dia berkata, "ya..ya..ya.." Selanjutnya layaknya di dalam film saja, dia memegang kunci yang banyak, mungkin karena panik, dia tidak tahu lagi yang mana kuncinya. Bukan keluargaku saja di situ saat itu, ada sekitar lima belas orang yang sebagian besar ibu-ibu yang ikut kami. Semua berteriak: "cepat-cepat".

Akhirnya pintu itu terbuka dan kami segera naik bersama-sama ke lantai atas. Sesampai di atas, aku pergi ke balkon rumah itu dan ternyata air sudah hampir mencapai balkon itu, ini hanya kurang dari 5 menit saat kami masuk ke dalam rumah. Kami melihat dengan mata kepala sendiri orang-orang yang hanyut di depan rumah tersebut, mobil-mobil bak kotak korek api yang terbalik-balik,­ dinding-dinding­ rumah yang telah jebol dihantam benda-benda yang terbawa arus air.

Aku terduduk, tidak ada yang bisa kami lakukan, selain istighfar dan terus berdoa. Aku terdiam, setidaknya aku merasa bahwa kami sudah aman, tapi ternyata tidak. Setelah kami di atas, terjadi lagi gempa, mungkin sekitar lima menit sekali kami merasakan gempa berulang kali.

Saat itulah aku pasrah, seakan menunggu saat-saat rumah itu akan runtuh, aku memeluk istri dan adik-adik ku sambil berkata, "Kalau memang kita harus mati di sini, berarti di sinilah ajal kita". Beberapa ibu-ibu yang bersama kami jatuh pingsan, selebihnya hanya duduk sambil menangis dan berzikir. Aku terbayang akan masih banyaknya dosa-dosaku dan menyesali kurangnya ibadahku.

 

Alhamd­ulillah, setela­h sekitar 3 jam, keadaan mulai tenang, kami semua yang berada di rumah tersebut selamat atas pertolongan Allah. Peristiwa tersebut sampai saat ini tidak akan pernah terlupakan.

Tujuh dari keluarga dekat kami menghadap Ilahi atas peristiwa itu. Kami juga kehilangan rumah dan harta benda. Saat itu, hanya pakaian yang melekat di badan harta satu-satunya.

Pengalaman ini, aku tulis untuk orang-orang tercinta yang terlibat bersama ku saat itu, istriku Vie Ranggayonie; adik-adik ku, Ahda Fitri dan Emi Rifuci; keponakanku Cut Almira Honesta dan seorang famili bernama Ida. Semoga pengalaman ini dapat kiranya memberikan pelajaran pada kita semua, bahwa kita harus siap menghadapi hal apapun yang terjadi di depan dengan memperbanyak lagi ibadah kita.

 

*) Kasie di Dinas Tenaga Kerja dan Mobiitas Penduduk Aceh

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement