Senin 26 Dec 2016 06:00 WIB

Tragedi Aleppo dan Pelajaran dari Indonesia

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Andaikan saja bangsa Suriah mau mengambil pelajaran dari Indonesia mungkin konflik di negara itu tidak akan berkepanjangan. Tragedi Aleppo tak akan berlangsung. Pelajaran yang dimaksud adalah bagaimana bangsa Indonesia bisa menemukan solusi dari masalah-masalah yang pelik sekali pun tanpa campur tangan pihak asing. Tanpa darah bercecer.

Lihatlah bagaimana Presiden Soeharto -- yang telah mencengkeram Indonesia lebih dari 30 tahun -- rela turun tahta, setelah didemo berhari-hari oleh rakyatnya. Estafet kepemimpinan kemudian diteruskan wakilnya, BJ Habibie. Pada gilirannya, Presiden Habibie pun dengan legowo tidak bersedia memperpanjang jabatannya sebagai presiden. Ia lalu menyerahkan suksesi kepemimpinan pada mekanisme demokrasi pada saat itu. Maka, terpilihlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden yang kemudian dilanjutkan oleh Megawati Soekarnoputri.

Pada masa Presiden Gus Dur dan Megawati inilah lalu berlangsung beberapa kali amandemen UUD 1945. Salah satu hasilnya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Juga pembagian kekuasaan secara tegas dan jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berikutnya adalah terbentuknya lembaga-lembaga negara. Antara lain Mahkamah Konstitusi yang menjadi penyelesai akhir bila terjadi konflik atau sengketa antarlembaga negara.

Pada masa Presiden Megawati ini pulalah pesta demokrasi benar-benar dimulai. Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden secara langsung oleh rakyat hingga dua periolde. Pemilu secara langsung ini kemudian juga telah mengantarkan Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden sekarang ini. Kini Indonesia – yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia -- pun menjelma menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Coba bayangkan bila saja Presiden Soeharto saat itu tidak legowo turun tahta. Sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata ia bisa saja menggerakkan militer untuk berhadap-hadapan dengan rakyat seperti terjadi di Suriah. Atau bisa saja para pimpinan militer mengambil alih kekuasaan seperti di Mesir. Namun, semua itu tidak terjadi karena sikap kenegarawanan para pemimpin bangsa. Dan, Indonesia -- negara besar berpulau-pulau, bersuku-suku, dan berbeda agama — pun selamat dari perpecahan seperti yang telah menimpa Uni Sovyet dan negara-negara di Eropa Timur.

Hal berbeda terjadi di Suriah. Keserakahan terhadap kekuasaan telah menyebabkan negara itu bagaikan neraka. Bayangkan, lebih dari 12 juta warga (separuh dari jumlah penduduk negeri itu) terpaksa harus meninggalkan rumah mereka. Sejumlah lebih dari 270 ribu warga terbunuh, di antaranya sekitar 15 ribu anak-anak.

Bahkan, dalam beberapa hari terakhir ini, Aleppo -- kota terbesar kedua di Suriah setelah Damaskus -- harus dikosongkan dari warga. Kota yang pernah memenangkan gelar ‘Ibukota Budaya Islam 2006’ ini kini bagaikan kota hantu. Tidak ada kehidupan. Gedung-gedung hancur. Rumah-rumah rusak parah. Malam hari gelap gulita karena tidak ada aliran listrik.

Aleppo yang berpenduduk sekitar 2,3 juta jiwa sebelum konflik Suriah pada 2011, dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi basis perjuangan kelompok-kelompok oposisi. Sejak enam bulan lalu, pasukan rezim Bashar Assad yang didukung militer Rusia dan milisi Iran pun mengepung Aleppo. Dengan berbagai pesawat canggih, militer Rusia pun membombardir Aleppo dari udara, yang disusul dengan serangan darat. Banyak warga yang kemudian menjadi korban.

Untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak, masyarakat internasional pun menyerukan untuk mengevakuasi warga. Kelompok-kelompok oposisi yang mulai terjepit pun ikut melarikan diri keluar dari Aleppo. Hingga Kamis (22/12) lalu, seperti diberitakan media al Sharq al Awsat, rezim Bashar Assad dan milisi-milisi pendukungnya telah berhasil menguasai kota bersejarah itu.

Sejumlah media Arab menyatakan apa yang sedang berlangsung di Suriah dan di Aleppo khususnya merupakan tragedi kemanusiaan yang paling mengenaskan di abad ini. Media al Sharq al Awsat bahkan menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan terbesar sejak Perang Dunia II.

Tragedi kemanusiaan di Suriah bermula pada 2011. Saat itu serangkaian unjuk rasa antirezim penguasa telah berlangsung di sejumlah negara Timur Tengah. Unjuk rasa sebagai kemarahan rakyat terhadap rezim penguasa diktator-otoriter dan tidak adanya kebebasan sipil itu kemudian dikenal sebagai al Rabi’ al Araby atau Musim Semi Arab. Sejumlah penguasa pun tumbang. Dari Presiden Zainul Abidin (Tunisia), Presiden Husni Mubarak (Mesir), Muammar Qadafi (Libia), dan Ali Abdullah Soleh (Yaman).

Sementara itu di Suriah, Presiden Bashar Assad hingga kini masih bertahan. Ia menghadapi aksi-aksi unjuk rasa bukan dengan perundingan, tapi dengan kekerasan dan bahkan cenderung brutal. Para pengunjuk rasa lalu menyimpulkan satu-satunya cara untuk menghadapi rezim penguasa adalah dengan mempersenjatai diri. Hal inilah yang kemudian berkembang menjadi perang saudara.

Namun, kelompok-kelompok oposisi itu ternyata terpecah. Tidak satu komando, satu sudut pandang, dan satu pesan politik. Ideloginya pun berbeda-beda. Dari yang liberal, moderat hingga yang radikal. Hal ini tentu menyulitkan dilakukannya perundingan.

Di tengah konflik rezim Bashar Assad dengan kelompok oposisi ini tiba-tiba muncul kelompok lain yang sangat radikal. Kelompok -- kemudian menyebut dirinya sebagai ISIS -- ini pada 2014 berhasil menguasai Kota Raqqa di timur Suriah. Dari sana mereka kemudian mencaplok Kota Mosul di Irak. Dan, dalam waktu singkat mereka pun berhasil menguasai wilayah luas di Suriah dan Irak. Kelompok ISIS ini terkadang berkoalisi dengan oposisi dan kadang pula ‘bekerja sama’ dengan rezim Assad, sesuai dengan kepentingan mereka.

Ketika rezim Suriah semakin terjepit, Presiden Assad – demi mempertahankan kekuasaannya -- pun mengundang intervensi militer Rusia dan milisi-milisi Syiah Iran. Rusia mempunyai kepentingan untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah pasca runtuhnya Uni Sovyet. Dan, Suriah merupakan pintu masuk yang tepat, di tengah keraguan para pemimpin Barat, terutama Presiden Barack Obama. Sedangkan Iran berkepentingan untuk mengembangkan poros Syiah: Iran-Irak-Suriah-Lebanon. Bashar Assad adalah Syiah (Alawi), sementara sebagian besar kelompok-kelompok oposisi menganut Sunni.

Kini konflik di Suriah pun semakin rumit. Ada rezim Bashar Assad yang ditopang Rusia dan Iran. Ada kelompok-kelompok oposisi yang didukung Turki dan negara-negara Arab moderat/Teluk. Lalu ada kelompok Kurdi di perbatasan Turki-Suriah yang menuntut pemerintahan otonomi atau bahkan kemerdekaannya sendiri. Tuntutan yang juga menjadi momok buat Turki.

Para pengamat mengenai Timur Tengah memperkirakan tragedi Aleppo bukan yang terakhir. Tragedi-tragedi lain akan terus menyusul terhadap kota-kota atau wilayah lain yang masih dikuasai kelompok-kelompok oposisi. Serangan udara militer Rusia akan terus dilancarkan terhadap basis-basis oposisi dan pemukiman warga. Ini artinya evakuasi terhadap para warga untuk untuk mengosongkan kota-kota atau wilayah akan terus berlangsung. Ini artinya penderitaan warga Suriah akan sangat lama.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement