REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perayaan Natal jatuh setiap tanggal 25 Desember. Santa Claus atau Sinterklas tidak pernah absen menjadi ikon untuk hari besar umat Kristen itu.
Biasanya, Sinterklas digambarkan sebagai pria bertubuh besar yang mengenakan baju tebal dan penutup kepala bercorak merah-putih.
Menurut Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Albertus Patty, Sinterklas merupakan sosok historis di luar ajaran kitab suci Kristen. Dia menuturkan, nama itu adalah julukan bagi Nikolas dari Myra, seorang uskup yang hidup di wilayah Yunani (kini Turki) sekitar abad keempat masehi.
Albertus menjelaskan, Nikolas dikenang sejarah sebagai sosok yang gemar berbuat baik terhadap orang miskin. Karena itu, ajaran Kristen kemudian mengadopsi kisahnya sebagai lambang kasih.
“Sikap cinta kasih Nikolas inilah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Barat, Amerika Latin, dan negara-negara Asia Timur, termasuk Jepang, sebagai bagian dari tradisi Natal. Inti pesannya adalah cinta kasih,” kata Albertus Patty dalam pesan singkatnya, Kamis (22/12).
“Jadi, tradisi Santa Claus adalah di luar tradisi Alkitab tetapi memberi pesan positif karena mengingatkan siapa pun tentang perlunya perhatian terhadap sesama melalui pemberian hadiah, terutama kepada orang miskin,” lanjut dia.