Senin 19 Dec 2016 01:00 WIB

Gaduh tak Perlu

 Dosen Unviersitas Telkom
Foto: dok.Istimewa
Dosen Unviersitas Telkom

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Sufyan Abd *)

Rasanya kita semua sepakat, setidaknya dalam tiga bulan terakhir, lanskap sosial di Tanah Air demikian gaduh, hiruk-pikuk, dan penuh keruwetan.

Berbincang dan berdiskusi bukan lagi proses hakiki dalam mengurangi kesenjangan pemahaman (communication = to make common), namun kemudian menjadi pintu munculnya aneka fragmentasi. Kita, pastinya, prihatin karena kegaduhan ini sebenarnya tak perlu....  

Tak pernah pula ruang publik sebising dan seheboh sekarang, manakala pesan komunikasi berseliweran intensif dengan diselingi berbagai modifikasi hingga kepalsuan. Sesuatu yang bisa ditekan sekiranya ada pengelolaan komunikasi publik yang matang, cermat, dan terencana.

Sekaligus, setidaknya bagi penulis sebagai akademisi komunikasi, dalam proses rentang waktu belakangan ini telah menghasilkan sebuah premis personal: Komunikasi publik itu vital dan memiliki kadar urgensi tinggi untuk diatur sebaik mungkin sebelum semuanya "kebakaran".

Kita memang bisa berharap sekira tidak ada kejadian komunikasi publik berikut ini, maka iklim komunikasi hingga tali silaturahim jelas akan terasa lebih hangat dari saat ini. Namun, alih-alih memutar waktu, kita tatap waktu ke depan dengan rencana dan respon terbaik.  

Mari telaah dengan merujuk dua akar peristiwa yang memunculkan banyak pertentangan pada hari ini: Pidato Gubernur (non aktif) Jakarta Basuki Tjahja Purnama/Ahok Rabu (30/9/2016)  dan news release di laman Sari Roti (4/12/2016).

Keduanya memiliki berapa pola komunikasi publik relatif sama. Pertama, baik Ahok dan Sari Roti sesungguhnya tidak sedang dalam posisi krisis komunikasi, bahkan tonalitas mereka relatif baik, di media massa maupun media sosial kala itu.

Ahok terus memimpin sejumlah survei pendahuluan terkait Pilkada Jakarta pada Februari nanti, sementara Sari Roti adalah pemimpin pasar yang tak hanya kuat di pasar ritel modern, tapi juga pada pasar ritel tradisional.

Dalam posisi krisis demikian, maka seyogyanya tak perlu pesan komunikasi yang bersifat klarifikasi, pesan komunikasi bantahan, pesan komunikasi yang berusaha menarik atensi, dan apalagi pesan komunikasi provaktif agar sorot tertuju.

Dengan menyajikan pesan normatif sekalipun, dan atau bahkan sama sekali tak menyajikan konten apapun, maka posisi keduanya di depan komunikan relatif cukup kuat, aman, dan sulit dibidik kelemahannya secara intensif.

Akan tetapi, fakta kemudian kita lihat bersama bahwa pesan komunikasi yang dimunculkan justru irrelevan dan tidak menguasai substansi komunikasi --bahkan malah menjurus provokatif dan sendirinya otomatis kontraproduktif.

Tidak faham substansi karena bagi Ahok, ada proses tafsir pada konten komunikasi (baca: Alquran) yang bukan menjadi keyakinannya sementara bagi Sari Roti, jelas ada perbincangan relasi tetiba antara penganan tersebut dengan Demo Super Damai 212.

Konten penafsiran tersebut juga diperkeruh kondisi sedang dinas (memakai baju PNS) lalu bertutur hal berbau kampanye, lalu menyampaikan bahasan soal wirausaha, dan tiba-tiba muncul Al-Maidah ayat 51 yang memicu polemik hingga hari ini.

Bagi ummat Islam yang meyakini Alquran sekalipun, diperlukan proses kehati-hatian sekaligus menguasai betul dalilnya sebelum menyampaikan ke yang lain. Apalagi, dalam ruang publik yang kini kian meluas berkat perantaraan teknologi informasi.

 

Tanpa itu, lebih baik komunikator tidak menyampaikan sama sekali karena tujuan utama komunikasi (to make common) jelas akan sulit tercapai, bahkan malah bisa menjadi bumerang personal karena berpotensi muncul distrust sekalipun satu keyakinan.

Demikian pula halnya dengan Sari Roti, yang sebenarnya citrannya dalam posisi sangat baik (banyak konten viral yang mengapresiasi keterlibatan mereka dalam Demo Super Damai 212) tapi kemudian dibuyarkan dengan news release ujug-ujug tersebut.

Kedua, produk dan konteks penyampaian pesan oleh keduanya relatif tidak lazim. Sari Roti memunculkan pengumuman di lamannya tersebut tanpa nomor kontak narahubung dan atau person in charge yang bisa memberikan informasi lanjutan.

Sudah lazim dan seharusnya setiap keterangan resmi kepada publik, apalagi disampaikan di ruang publik, harus membuka saluran komunikasi tambahan guna makin menyatukan kesamaan persepsi berkat adanya komunikasi lebih lanjut.

Sementara pidato di Kepulauan Seribu di mata penulis menjadi kurang lazim karena pidato pejabat publik harus selalu bertumpu pada koridor konten secara ketat, bukan membuka ruang sangat luas bagi improvisasi (pidato jenis impromptu) yang potensial keselip lidah.   

Kedua pendekatan produk dan konteks komunikasi tersebut akhirnya memunculkan ruang sangat luas untuk penafsiran dari publik, yang akhirnya gelisah dan marah. Terlebih, feedback negatif atasnya setelah dirilis tidak cepat diklarifikasi pada ruang publik yang setara.

Ketiga, baik Sari Roti maupun Ahok (melalui Humas Pemprov DKI Jakarta) pada akhirnya menarik kedua konten komunikasi publik tersebut setelah akhirnya ruang publik memberikan stimulus negatif bahkan melebar pada hal yang tak terperikan sebelumnya.

Situasi ini sebetulnya tidak perlu terjadi --untuk tidak menyebut memalukan-- karena sebuah konten komunikasi publik sejatinya pantang untuk ditarik ulang karena selain bisa menciptakan kerusakan sosial parah, juga melalui hasil pertimbangan matang namun cepat.  

 

Karena itulah, dengan melihat tiga poin di atas, penulis sebagai akademisi/advisor komunikasi publik menilai ketiadaan urgensi dan vitalitas yang kuat dari pesan komunikasi tersebut untuk dikirimkan ke tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

Pesan komunikasi adalah bukan semata tersalurkannya pemikiran/aspirasi melalui lisan dan atau tulisan kepada sesama kita. Lebih dari itu, saat kita berada di ruang publik, maka diperlukan kompetensi tambahan dalam mengimplementasikan dan mentransmisikannya.

Solusi selanjutnya

Kita, Bangsa Indonesia, kiranya harus belajar banyak dari sungai hikmah bijaksana pada hari-hari terakhir ini. Kita sudah dibuat lelah dan tak produktif pada akhirnya, sehingga belajar dari ini semua, komunikasi publik ke depan memerlukan sejumlah penguatan.

Prinsip utama penguatan adalah kian cermat dan hati-hati berkomunikasi publik di tengah perluasan era camera branding saat ini, sekaligus mulai munculnya literasi politik dan "trauma" berbagai fragmentasi sosial yang dimulai Pilpres 2014 dan dipuncaki sekarang.

Izinkan penulis berbagi tips trik praktis sebagai derivatif filosofi komunikasi tersebut. Pertama, dalam suasana iklim komunikasi genting seperti Pilkada misalnya, maka seluruh komunikasi publik, terutama pidato, selalu gunakan metode pidato manuksrip (menggunakan naskah) dan ekstemporer (menjabarkan materi yang terpola).

Ini penting bukan hanya ketika acara tersebut diliput media massa. Bahkan di ruang komunal atau privat sekalipun, sekali lagi karena ini era camera branding, maka siapapun bisa merekam komunikasi seseorang untuk kemudian disebarkan dengan berbagai intensi-nya.

Betul memang kedua jenis pidato tersebut tidak seru, kurang bergelora, apalagi membakar massa. Tapi dalam kondisi semacam saat ini, tetap lebih aman dibandingkan metode impromptu (spontan, tanpa persiapan sebelumnya) dan memoriter (menghafal naskah).

Lho, kan suasana di lapangan dinamis? Mengacu pengalaman, saat harus spontan, jangan pernah komunikator mengkomunikasikan hal yang tak diketahuinya dengan baik. Tidak ada yang salah dengan diam atau meminta waktu rekap dulu data-nya.

Jangan pernah lupa "sihir mic" yang membuat seorang orator kerap berapi-api tak terkendali saat berada di depan podium, sehingga kerap membuat bahan komunikasi menjadi lebih panjang dari sedianya. Di sinilah, slip of tongue sering terjadi.

Kedua, terutama kita belajar dari news release Sari Roti, pola relasi media/publik press agentry (satu arah dan fokusnya ke publikasi tok) semacam ini sungguh sudah usang --sebab teorema ini lahir di era Perang Dunia II ketika relasi menuntut demikian.

Maka itu, utamakanlah pola relasi media/publik two ways symmetric yang bersifat dua arah dan bertujuan memperoleh saling pengertian dengan memberi ruang efek-efek yang seimbang. Posisi dan status produsen pesan komunikasi tak lagi dominan.

Two ways juga menekankan siapapun komunikatornya, harus berkomunikasi dengan berbasis praksis hearing dibandingkan telling. Karenanya, nilai empati dan tepa salira kepada komunikan menjadi pijakan utamanya, baik masyarakat minoritas dan apalagi mayoritas.  

Nilai empati dan tepa salira juga terkait dengan mengangkat nilai kebaikan yang meneguhkan satu sama lainnya. Dan, di sisi lain, harus menjauhkan diri mengkomunikasikan hal yang sensitif, berbau intoleransi, dan menyemai bibit perpecahan.

Pada akhirnya, kita semua sepakat bahwa komunikasi publik yang tak matang ternyata bisa menghasilkan wajah Indonesia cukup retak saat ini. Namun, umpama koin dua wajah, komunikasi publik yang terencana dan baik pula akan bisa menyatukan kembali Indonesia!

*) Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi Bisnis Telkom University & Advisor Komunikasi Publik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement