REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara Buni Yani, Aldwin Rahadian meminta Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang menjerat kliennya, dikaji ulang.
"Kan dalam pasal itu dengan sengaja tanpa hak, kalau teorinya tentu ada yang berhak dan ada yang tidak berhak, jadi logikanya siapa yang berhak menyebarkan kebencian itu," kata Aldwin di sela sidang lanjutan praperadilan Buni Yani dengan agenda keterangan saksi ahli dari termohon Polda Metro Jaya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (16/12).
Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sendiri menyebutkan dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Jangan sampai pasal ini multi interpretasi, bisa menjerat seseorang dan justru membelenggu orang ketika dia ngin menyatakan kebebasan berpendapatnya," kata Aldwin.
Padahal, kata dia, kebebasan berpendapat itu bukan hanya dilindungi Undang-Undang tetapi juga konstitusi negara kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang jauh lebih tinggi dibanding Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE tersebut.
"Saya yakin ke depan apalagi teman-teman wartawan banyak memberikan opini dan mengajak diskusi di media sosial jangan sampai dijerat dengan pasal ini," tuturnya.
Sebelumnya, Buni Yani mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/12). Gugatan praperadilan tersebut ditujukan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) cq Kapolda Metro Jaya, dan Dirkrimum Polda Metro Jaya dengan nomor registrasi 147/Pid.Prap/2016 PN Jakarta Selatan.
Polda Metro telah menetapkan Buni Yani sebagai tersangka karena melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman maksimal enam tahun penjara dan atau denda maksimal Rp1 miliar.