Sabtu 10 Dec 2016 03:02 WIB

Delegasi BDF Bahas Pengungsi Timur Tengah

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Yudha Manggala P Putra
Ilustrasi
Foto: Antara/Satya Bati
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Bali Democracy Forum (BDF) IX di Nusa Dua, Bali mengangkat sejumlah isu tentang agama, demokrasi, dan pluralisme yang banyak dihadapi negara-negara di dunia saat ini. Sejumlah delegasi dalam pemaparannya membahas tentang mobilisasi pengungsi Muslim dari negara-negara Timur Tengah ke Eropa.

"Diskusi ini membantu membuka pikiran banyak negara, khususnya di Eropa tentang problem-problem mereka. Bukan tak mungkin apa yang didiskusikan di sini bisa dibawa ke Paris (Konferensi Perdamaian Timur Tengah yang akan diselenggarakan 21 Desember 2016 di Paris)," kata pendiri Institute for Peace and Democracy (IPD) Hassan Wirajuda yang memimpin panel diskusi BDF kepada Republika, Jumat (9/12).

Ajang BDF sendiri, kata Hassan menghindari pembahasan yang berpotensi mempermalukan suatu negara. Ketika ditanya adakah diskusi khusus tentang konflik kemanusiaan di Rohingya dan Palestina, Hassan mengatakan dalam forum antarnegara masalah sensitif tidak langsung dinyatakan. "Meski demikian, proses nation building, termasuk yang perlu dilakukan di Myanmar menjadi tantangan tersendiri," kata Hasan.

Problem agama, demokrasi, dan pluralisme, kata Hasan tak hanya dihadapi negara-negara demokrasi muda, melainkan juga demokrasi tua, seperti Eropa. Ia mencontohkan Jerman, Spanyol, dan Inggris yang sudah berdemokrasi lebih dari 300 tahun merasa nasionalismenya terancam karena kewalahan menghadapi arus pengungsi dari Timur Tengah lebih dari 1,2 juta orang tahun lalu.

Sebagian negara di Eropa bahkan ada yang berencana membangun tembok pembatas untuk mengantisipasi arus pengungsi yang semakin besar.

Komisioner Hak Asasi Manusia di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan pluralisme tak bisa berdiri sendiri untuk mewujudkan masyarakat beragama yang harmonis.

Ini memerlukan komitmen kuat bersamaan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Warga negara perlu didorong untuk berpartisipasi dalam organisasi sipil lebih luas untuk bisa mengelola berbagai masalah, termasuk ketegangan dan konflik agama. Konflik agama biasanya timbul dari kesalahpahaman dan penilaian subyektif.

"Ini seharusnya tidak disengketakan, melainkan dimediasi dan didamaikan melalui resolusi alternatif untuk menghindari politisasi yang dapat memfragmentasi bangsa," kata Siti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement