REPUBLIKA.CO.ID, BERAU -- Wakil Ketua MPR Mahyudin menegaskan, MPR selalu bekerja sesuai dengan konstitusi. Dalam koridor konstitusi itulah, maka tidak mudah untuk memberhentikan presiden dan mengubah undang-undang dasar.
''MPR menjadi pelaksana konstitusi. MPR tidak bisa bekerja atas kepentingan atau kehendak individu atau kelompok. Sebab, negara kita adalah negara hukum,'' kata Mahyudin, dalam sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Ruang Sidang Paripurna DPRD Berau, Kalimantan Timur, Jumat (9/12).
Menurut Mahyudin, tidak mudah untuk memberhentikan presiden dari jabatannya. Apalagi hanya dengan modal demo, tak bisa menjatuhkan presiden. Memberhentikan presiden dari jabatannya harus secara konstitusional.
Ia mengungkapkan, dalam UUD ada mekanisme untuk memberhentikan presiden. Presiden bisa diberhentikan karena tiga hal, yaitu korupsi, melakukan pelanggaran hukum, dan membahayakan negara. Pelanggaran itu harus terlebih dulu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK kemudian mengeluarkan putusan apakah presiden bersalah atau tidak. Kalau MK menyatakan bersalah, maka putusan MK itu dibawa ke sidang paripurna MPR. ''Jadi (prosesnya) tidak gampang. Tidak ujug-ujug karena tidak suka dengan Presiden Jokowi, lalu presiden bisa dijatuhkan. Tidak bisa,'' ujarnya.
Begitu juga dengan kewenangan MPR mengubah UUD. Untuk mengubah UUD, ada mekanismenya sesuai konstitusi, yaitu usulan perubahan harus diajukan sepertiga anggota MPR dan perubahan harus disetujui dua pertiga anggota MPR.
Dalam soal reformulasi perencanaan sistem pembangunan model GBHN, MPR sedang mengkaji apakah perlu dilakukan dengan amandemen UUD. ''Melakukan amandemen UUD merupakan pekerjaan sulit,'' katanya.
Sosialisasi yang diikuti sekitar 500 peserta ini merupakan kerjasama MPR dengan Pengurus Kabupaten Purna Paskibraka Indonesia Berau, Kalimantan Timur.
Baca juga, Mahyudin, MPR dan Pesantren Mesti Sejalan.