Jumat 09 Dec 2016 17:02 WIB

TKI Bermasalah dari Jatim 4.914 Orang

Rep: Binti Sholikah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Sebanyak 494 tenaga kerja indonesia (TKI) ilegal tiba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sebanyak 494 tenaga kerja indonesia (TKI) ilegal tiba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bermasalah dari Provinsi Jawa Timur hingga November 2016 tercatat sebanyak 4.914 orang. Di antaranya terdiri atas 3.278 laki-laki, dan 1.614 perempuan, serta anak-anak sejumlah 22 orang.

TKI bermasalah ini paling banyak berasal dari lima kabupaten/kota di Jatim, di antaranya Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Jember dan Kabupaten Bangkalan.

Gubernur Jatim Soekarwo menyebutkan jumlah Kasus TKI bermasalah dengan Kasus Khusus (ancaman hukuman berat) secara nasional tercatat sebanyak 229 kasus. Kasus khusus meliputi pembunuhan, narkoba, zina, kepemilikan senjata api dan sihir. WNI/TKI asal Jatim yang tersangkut kasus khusus ini sebanyak 18 orang. Sampai saat ini 18 orang tersebut masih dalam proses peradilan.

"Peran Jatim dalam kasus ini melakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan keluarga korban," katanya saat menerima kunjungan Tim Pengawas TKI DPR RI di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jumat (9/12).

Pakde Karwo, sapaan akrabnya, mengaku telah melakukan pencegahan TKI ilegal (nonprosedural) yang akan berangkat ke luar negeri. Berdasarkan data, jumlah TKI ilegal yang digagalkan berangkat pada 2016 sebanyak 153 orang dengan rincian laki-laki sebanyak 102 orang dan perempuan sebanyak 51 orang." Pemprov Jatim memfasilitasi dari bandara Juanda atau tempat lain sampai ke rumah tujuan dengan segala fasilitas," imbuhnya.

Di samping TKI bermasalah, TKI Jatim yang meninggal dunia di luar negeri pada 2016 berjumlah 62 orang, termasuk karena kecelakaan kapal tenggelam. Sedangkan untuk TKI yang dipulangkan karena sakit berat sebanyak 43 orang.

Ia menambahkan, beberapa upaya perlu dilakukan untuk menangani permasalahan TKI. Di antaranya peningkatan koordinasi dan pengawasan di wilayah jalur keberangkatan TKI Ilegal di Batam, Nunukan dan Entikong. Kemudian, melakukan sosialisasi dan pengawasan melalui Bupati/Walikota, Camat dan kepala desa.

Selanjutnya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan Surat Edaran Gubernur tentang efektivitas pelaksanaan Job Market Fair di 38 kabupaten/kota, serta memberikan kepastian beban/biayan (cost structure) kepada TKI.

Selain itu Pemprov juga melakukan perbaikan kualitas calon TKI (CTKI) ke arah pelatihan CTKI bersertifikat internasional untuk mengisi lowongan TKI Formal, seperti di Asia, Eropa, Australia, Amerika dan Timur Tengah. Pemprov juga akan mengoptimalkan Satgas Pencegahan TKI Ilegal (Non-prosedural), serta mendukung program penggunaan remitansi TKI lewat perbankan.

Program remitansi ini bisa dilakukan secara pribadi maupun kelompok (koperasi) dan pemberdayaan ekonomi keluarga TKI. "Jatim sendiri memiliki Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (LPTSA - P2TKI) untuk mengurusi masalah ketenagakerjaan," ujarnya.

Sampai dengan Agustus 2016, jumlah penduduk usia kerja di Jatim sebanyak 30 juta orang dan angkatan kerja berjumlah 19,9 juta orang.  Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2015 dari 4,47 persen turun menjadi 4,21 pada Agustus 2016.

Sedangkan jumlah TKI Jatim sampai dengan November 2016 tercatat 216.435 orang. TKI dari Jatim paling banyak bekerja di Taiwan mencapai 110.000 orang dan di Hongkong sebanyak 90.000 orang. Jumlah remitansi sampai dengan November 2016 tercatat sebanyak Rp 1,8 triliun.

Kabupaten di Jatim yang menjadi daerah pengirim TKI terbanyak antara lain Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Malang. Sedangkan negara tujuan terbanyak dari TKI asal Jatim adalah Taiwan, Hongkong, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.

Pakde Karwo menambahkan, untuk mengurangi dan mengendalikan permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari wilayah yang paling bawah, ia mengusulkan penguatan peran dan upaya dari Camat. Sebab, camat menjadi unsur pemerintahan di tingkat kecamatan yang lebih dekat dengan domisili TKI bersangkutan sehingga lebih mudah dalam melakukan pengawasan.

Camat, lanjutnya, bisa menggerakkan tiga pilar yang terdiri atas Babinsa, Babinkamtibmas, dan kepala desa untuk mengontrol rekrutmen awal di desa. Ia menilai selama ini banyak calo TKI yang bergerak mulai dari tingkat desa.

“Saya usul struktur sekarang camat diperankan kembali untuk membantu Bupati salah satunya mengurus TKI dan mengurusi program SKPD di tingkat kecamatan. Camat harus dibangun lagi perannya. Sehingga fungsi pra penempatan di desa bisa berlangsung dengan baik,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement