Senin 05 Dec 2016 06:00 WIB

Pak Presiden, Keputusan Anda Sungguh Keren!

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Keputusan Presiden Joko Widodo untuk shalat Jumat bersama lautan jamaah Aksi Damai 212 (2 Desember 2016) di Monas pada Jumat lalu sungguh keren. Perlu diacungidua jempol. Apalagi Presiden pun menyampaikan sambutan yang menyejukkan kepada jutaan peserta aksi. Diiringi beberapa kali takbir dari mulut Presiden.

‘’Pertama-tama, terima kasih atas doa dan zikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan bangsa dan negara kita. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,’’ ujar Presiden yang disahuti oleh para peserta aksi dengan takbir yang sama.

‘’Yang kedua, saya ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena seluruh jamaah yang hadir tertib dalam ketertiban, sehingga acaranya semuanya bisa berjalan dengan baik. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,’’  lanjut Jokowi yang didampingi Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah menteri.

‘’Sekali lagi terima kasih dan selamat kembali ke tempat asal masing-masing, ke tempat tinggal masing-masing, terima kasih.’’

Para jamaah, seperti himbauan Presiden, pun segera bubar. Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan tertib. Beberapa jam setelah selesai shalat Jumat, kawasan Monas dan sekitarnya sudah bersih dari lautan manusia. Tak ada bunga rusak. Tidak ada sampah berserakan.

Kehadiran Presiden Jokowi di tengah lautan peserta aksi kali ini menegaskan karakter aslinya: pemimpin yang ingin dekat rakyat. Blusukan adalah hobinya. Bahkan setelah menjadi presiden sekali pun. Kelompok-kelompok masyarakat yang mendemo atau menolak kebijakannya — baik ketika menjadi walikota, gubernur maupun presiden —, pun ia temui. Bahkan kerap kali mereka ia ajak makan dulu sebelum ia menjelaskan kebijakan serta program-programnya.

Dan, biasanya, masyarakat yang tadinya menolakmenjadi manggut-manggut.Dengan cara pendekatan seperti itulah Pak Jokowi kemudian dikenal sebagai pemimpin yang genuine. Pemimpin yang dekat dengan rakyat. Apalagi Pak Jokowi juga dikenal sebagai pemimpin yang bersih, ramah, dan pandai menyembunyikan amarah di balik raut mukanya yang cerah. Hal-hal inilah yang lalu mengantarkan Pak Jokowi terpilih menjadi Wali Kota Solo hingga dua periode, gubernur DKI Jakarta, dan kemudian menjadi Presiden Indonesia sekarang ini.Keputusan Presiden Jokowi kali ini berbeda dengan aksi unjuk rasa pada 4 November lalu, walaupun di dua aksi unjuk rasa tersebut baik penyelenggara, peserta, maupun  tuntutannya adalah sama. Waktu itu, 4 November, Presiden Jokowi tidak bersedia menemui para peserta aksi unjuk rasa yang telah memutihkan Jakarta, terlepas dari berbagai alasan yang dikemukakan oleh para pembantunya. Pak Jokowi bahkan terkesan menghindar. Ia hanya menyerahkan kepada Wapres Jusuf Kalla dan beberapamenterinya untuk menemui delegasi para demonstran.

Alih-alih menemui para pemimpin aksi unjuk rasa, yang tercipta kemudian suasana seolah-olah negara dan bangsa ini dalam kondisi genting. Darurat. Kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Australia pun ditunda. Presiden kemudian bergerak cepat bersafari mengunjungi satuan-satuan Polri dan TNI. Dari Kopassus, Kontrad, Brimob, dan seterusnya. Ia juga berkunjung ke PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dan PP Muhammadiyah. Sejumlah ulama dan pemimpin Ormas Islam pun ia undang ke Istana. Namun, yang mengherankan, dalam undangan itu tak termasuk para pemimpin aksi demo yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI).

Ibarat sebuah paduan suara, berbagai pernyataan para petinggi aparat keamanan, partai politik, dan beberapa pimpinan ormas Islam utama (mainstream) serta sejumlah pengamat pun ikut memanaskan suasana. Mereka telah memposisikan GNPF MUI seolah sebagai tertuduh, sebagai pembuat kegaduhan dan onar, sebagai kelompok radikal, sebagai anti-kebhinnekaan Indonesia, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan tuduhan-tuduhan miring lainnya.

Bahkan MUI yang tadinya dengan gagah memfatwakan bahwa pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pulau Seribu sebagai telah menistakan agama, akhirnya pun gamang. Sejumlah pengurus MUI menjadi kurang percaya diri ketika fatwanya diserang sana-sini. Saat  fatwanya dikritik dari segala arah. MUI pun ikut menjadi ‘tertuduh’ sebagai pembuat kegaduhan terkait dengan fatwanya tentang pernyataan Pak Ahok itu. Ustad Yusuf Mansur pun pernah menangis ketika menyaksikan bagaimana para ulama menjadi bulan-bulanan di sebuah diskusi acara televisi.

Pertanyaannya, apakah benar kehadiran GNPF MUI yang dimaksudkan untuk membela fatwa MUI tersebut ingin membuat gaduh dan onar, memecah-belah masyarakat, dan bahkan ingin berbuat makar?

Saya mengenal baik beberapa pemimpin GNPF MUI. Dari Habib Rizieq Shihab, KH  Abdul Rasyid Abdullah Syafii, KH Bachtiar Nasir, KH Gymnastiar (Aa Gym), KH Arifin Ilham, hingga Ustadz Zaitun Rasmin dan lainnya. Saya yakin mereka adalah tokoh-tokoh yang cinta damai. Tokoh-tokoh yang berkomitmen terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Yang mereka tuntut hanyalah penegakan hukum setegak-tegaknya dan seadil-adilnya. Tanpa pandang bulu. Terutama terkait dengan kasus hukum Pak Ahok yang dituduh telah menistakan agama, yang di masa lalu si tertuduh langsung dijebloskan ke dalam penjara. Desakan penegakan hokum kasus Pak Ahok tidak ada hubungannya dengan Pilkada. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya majemuk (plural). Terdiri dari berbagai suku, adat, ras, dan agama. Para penduduknya berbeda-beda namun disatukan oleh yang namanya Indonesia. Dalam negara seperti ini, saling menghormati antar-pemeluk agama — juga suku, adat, dan ras — adalah mutlak. Wajib.

Sebaliknya, penistaan, penghinaan, dan pelecehan terhadap agama dan keyakinan masyarakat adalah haram. Pelakunya harus dihukum. Bila dibiarkan justeru akan menjadi bibit konflik dan perpecahan di masyarakat. Bila dibiarkan, ia bisa mengancam keutuhan NKRI.

Karenanya, pelecehan terhadap agama yang dituduhkan kepada Pak Ahok harus diusuttuntas. Pelecehan terhadap agama sangat sensitif. Ia tak terkait dengan suku, ras, adat, dan agama yang bersangkutan. Lantaran itu, desakan yang dilakukan GNPF MUI untuk menegakkan hukum kasus Pak Ahok adalah sah. Sekali lagi, hukum harus ditegakkan setegak-tegaknya dan seadil-adilnya.

Jangan sebaliknya, GNPF MUI yang menuntut ditegakkan hukum justru dituduh sebagaipembuat onar dan kegaduhan. Toh, aksi-aksi unjuk rasa GNPF MUI yang melibatkan jutaan warga sangat aman dan nyaman. Bahkan super damai. Apalagi aksi 212 itu hanya diisi dengan zikir, doa, dan shalat Jumat. Saking damainya, seorang teman pun berkomentar, barangkali aksi-aksi yang membentuk lautan putih nan aman dan damai itu baik kalau dilestarikan. Dijadikan agenda wisata yang bisa menarik para turis manca negara dan lokal untuk berwisata ke Jakarta.

Aksi super damai ini tentu tak terlepas dari sikap legowo para pimpinan GNPF MUI, Polridan TNI, serta para pengurus MUI. Sikap legowo yang mengantarkan pertemuan musyawarah para pihak yang difasilitasi MUI. Dari musyawarah para ulama dengan umara inilah kemudian tercipta aksi super damai 212. Apalagi Presiden Jokowi pada akhirnya juga memutuskan untuk shalat Jumat bersama dengan jutaan peserta aksi.

Kehadiran Presiden harus diakui telah ikut menciptakan kedamaian masyarakat. Karenaitu tak berlebihan kalau kita katakan, ‘’Pak Presiden, kali Ini keputusan Anda untuk shalat Jumat dan menyapa ratusan ribu peserta aksi damai sungguh keren!’’ 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement