Ahad 04 Dec 2016 17:53 WIB

Revisi UU ITE Masih Ancam Kebebasan Berekspresi Masyarakat

Menkominfo Rudiantara saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi I DPR terkait pembahasan revisi UU ITE di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (14/3).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menkominfo Rudiantara saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi I DPR terkait pembahasan revisi UU ITE di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (14/3).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih mengancam kebebasan berekspresi masyarakat pengguna elektronik atau media sosial. Revisi diperlukan agar kecenderungan kriminalisasi terhadap pengguna media sosial tidak meningkat.

"Pasal pencemaran nama baik tak diutak-atik dalam revisi UU ITE, padahal pasal ini akar masalah yang mengancam kebebasan berekspresi masyarakat pengguna elektronik atau media sosial," kata Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin, dalam siaran persnya, pada Pekan Literasi Kebangsaan, Ahad (4/12).

Asep memaparkan, latar belakang dirumuskannya UU ITE pada 2008 dan awalnya UU ini disiapkan untuk melakukan tata kelola internet terkait bisnis e-commerce di Indonesia. Unpad kemudian mengajukan draf akademik tentang tata kelola bisnis e-commerce, dan Universitas Indonesia mengajukan draf terkait masalah digital.

Menurut dia, saat masuk ke DPR, dua draf itu disatukan dan menjadi draf awal RUU ITE. "Tapi dalam pembahasan di DPR, perdebatan menjadi melebar hingga membahas hal-hal di luar draf akademik, salah satunya masuknya pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik," kata Asep.

Pasal pencemaran nama baik, kata dia, merupakan masukan dari anggota DPR merasa merasa nama baiknya terancam dicemarkan media sosial dan ancaman pasal ini cukup berat, yakni enam tahun penjara. Ia mengatakan besaran hukuman tersebut sesuai dengan masukan kepolisian dan kepolisian menganggap penyidikan kasus pencemaran nama baik versi UU ITE akan memakan waktu sehingga diperlukan kehadiran orang yang dilaporkan untuk disidik.

Dengan kata lain, lanjut dia, orang yang dilaporkan (terlapor) perlu ditahan dan berdasarkan Kitab Acara Hukum Pidana, terlapor dengan ancaman di atas lima tahun penjara bisa langsung ditahan polisi sehingga hukuman pasal pencemaran nama baik UU ITE pun enam tahun. "Setelah UU ITE disahkan, kami menilai reduksinya sangat besar," katanya.

Menurut dia, kekhawatiran LBH Pers dan organisasi sosial lainnya seperti AJI, terbukti dan baru satu tahun UU ITE diundangkan, muncul korban fenomenal yakni Prita Mulyasari. Ia menuturkan Prita dilaporkan melanggar pasal pencemaran nama baik UU ITE karena menulis keluhan di mailing list terkait layanan suatu rumah sakit.

Prita yang merupakan ibu rumah tangga harus menjalani penanahanan dan proses hukum yang panjang, mulai 2009 sampai harus menempuh Peninjauan Kembali pada 2014. LBH Pers dan organisasi lainnya kemudian mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian mendorong direvisinya UU ITE.

"Kemudian UU ITE direvisi pemerintah, hukuman pasal pencemaran nama baik direvisi dari 6 jadi 4 tahun. Tapi ini tidak menyelesaikan masalah karena akarnya masih ada," ujar Asep.

Akar tersebut, kata dia, masih bercokolnya pasal pencemaran nama baik pada UU ITE versi revisi dan kondisi ini membuat publik yang kritis masih bisa terancam pasal pencemaran nama baik, walaupun hukumannya lebih ringan menjadi empat tahun sehingga tidak bisa ditahan kepolisian.

Ia menilai, pasal pencemaran nama baik UU ITE berpotensi besar disalahgunakan oleh pemegang kekuasaan atau pemilik modal dan pasal ini hanya akan menjerat orang-orang lemah seperti Prita yang mengkritisi suatu kebijakan. "Tujuh puluh persen pelapor pencemaran nama baik adalah pejabat publik. Yang dilaporkan adalah masyarakat yang kritis terhadap kebijakan," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan pasal pencemaran nama baik merupakan pasal karet yang membungkam kebebasan berekspresi masyarakat yang kritis terhadap kebijakan publik.

Berdasarkan data LBH Pers, grafik penggunaan pasal pencemaran nama baik UU ITE terus meningkat sejak pertama kali diundangkan dan pada 2009, pelaporan dengan pasal tersebut sebanyak satu kasus, yakni kasus Prita.

"Sekarang perbulannya 10 kasus dengan sebaran makin luas dengan platform beragam," katanya. Platform yang dilaporkan sangat bervariasi, mulai email, SMS, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, grup Whatsapp, Blackberry Messenger (BBM), status BBM, Path, dan lain-lain. Platform media sosial tersebut banyak digunakan masyarakat di era internet ini.

"Pencemaran nama baik sangat subjektif, terkait rasa. Contoh, seorang koruptor yang terbukti salah dan dipenjara, merasa masih punya nama baik, dan dia bisa melaporkan orang yang menyebutnya koruptor," katanya.

Selain pasal pencemaran nama baik, LBH Pers juga menyoroti sejumlah pasal lain yang bisa disalahgunakan penguasa, antara lain pasal tentang sara, pornografi, hak untuk dilupakan, dan pemblokiran website.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement