REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, menilai aksi 2 Desember 2016 merupakan sesuatu yang wajar di negara demokrasi dengan menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Karenanya, ia menegaskan sejumlah poin yang harus bisa dipastikan dari aksi tersebut.
Pertama, kehadiran negara khususnya Kepolisian dan kemungkinan perbantuan lain untuk menjamin keamanan dan ketertiban selama penyampaian pendapat berlangsung. Kedua, tidak ada pelarangan orang boleh berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketiga, tidak ada pelarangan orang menyampaikan pendapat.
Keempatm kata Manager, pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo, bisa membuktikan komitmen untuk imparsial, tidak dalam posisi membela Basuki Tjahaja Purnama seperti yang telah disampaikan ke publik. Kelima, menjauhi ujaran kebencian, pencemaran nama baik, perendahan derajat kemanusiaan dan lain-lain.
Manager Nasution menekankan, demonstrasi merupakan salah satu sarana, di samping untuk memperjuangkan keadilan hukum di tengah rendahnya kejujuran dalam sistem peradilan pidana, juga karena ada dugaan publik ada kekebalan hukum, sehingga terjadi perlambatan proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama.
Untuk itu, kata dia, Kepolisian sejatinya harus menjelaskan ke publik, dan Komnas HAM berharap itu tidak benar adanya. Komnas HAM akan melakukan pemantauan khusus, demi memastikan penyampaian pendapat berjalan damai sesuai hukum dan HAM.
Komnas HAM melakukan pemantauan tidak cuma pada 2 Desember 2016, tapi pasca 2/12. Komnas HAM akan melakukan pengawasan sesuai UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminatif RAS dan etnis.
Komnas HAM mengimbau, masyarakat untuk mewaspadai provokasi dari pihak-pihak yang ingin mencederai maksud luhur penyampaian pendapat. TNI/Polri diminta membuka mata, telinga dan nurani.
"Jangan terlambat memahami isyarat rakyat, pemerintah jangan gagal paham dengan aksi publik 212," ungkap Manager Nasution lewat rilis yang diterima Republika, Jum'at (2/12).