Rabu 30 Nov 2016 17:05 WIB

Presiden Diharap Bijak Mau Temui Massa 2 Desember

Rep: Christiyaningsih/ Red: Indira Rezkisari
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) berjalan kaki menuju Jakarta di Jalan Raya Tasikmalaya-Malangbong, Kampung Cipeudeuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (29/11).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) berjalan kaki menuju Jakarta di Jalan Raya Tasikmalaya-Malangbong, Kampung Cipeudeuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (29/11).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Presiden Joko Widodo diharapkan dapat bersikap lebih bijak dengan bersedia menemui massa dalam Aksi Bela Islam Jilid III pada Jumat (2/12) mendatang. Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Fauzan, kehadiran presiden di tengah massa akan menjadi simbol pemerintah dalam komitmennya menegakkan keadilan hukum dan perdamaian.

"Massa ini kan menuntut supaya perlakuan kepada Ahok sama seperti perlakuan kepada tersangka penista agama lain, intinya minta keadilan ditegakkan," kata Fauzan pada Rabu (30/11) di Malang.

Menurutnya, sebagai seorang kepala negara Presiden Jokowi jangan hanya menginstruksikan agar massa tetap menjaga kedamaian selama aksi. Namun Presiden Jokowi juga perlu turun ke lapangan dan memberikan pernyataan. Dengan demikian Presiden juga turut ambil bagian menciptakan kedamaian sepanjang aksi.

Momen tersebut juga dinilai Fauzan sebagai saat yang tepat untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan. "Introspeksi dalam mengatur sebuah pemerintahan yaitu ditegakkannya keadilan," jelasnya.

Ia memandang rangkaian aksi massa berskala besar dua bulan terakhir ini merupakan bukti bahwa telah terjadi krisis kepemimpinan bangsa. Menurutnya, rakyat lebih mudah diarahkan oleh para pemimpin opini (opinion leaders) ketimbang pemimpin formal, yaitu penguasa.

Aksi bela Islam perlu menjadi refleksi bagi pemerintah bukan saja soal isi tuntutan yang disampaikan, tapi lebih-lebih soal sejauh mana kepercayaan rakyat pada pemimpinnya. "Bagi umat Islam, pemimpin itu tak hanya dilihat dari sisi kemampuan manajerial dan pengambilan kebijakannya saja, tapi juga perilaku dan tutur katanya sebagai teladan masyarakat," ungkap Fauzan.

Ketiadaan pemimpin idaman membuat masyarakat mudah kecewa. Tugas pemerintah adalah mengelola kekecewaan itu dan mengubahnya menjadi harapan. "Kekecewaan itu tak boleh diabaikan, jika tak ingin menjadi amunisi yang akan melahirkan kekecewaan lebih besar."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement