REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang 'melempar' isu makar pada aksi 2 Desember atau 212 dinilai sebagai tekanan kepada umat Islam untuk menghentikan tuntutan keadilannya.
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan konsolidasi yang dilakukan Tito kepada banyak komponen umat Islam dimaknai sebagai upaya mereduksi agenda 212 atau memecah kekuatan umat Islam.
"Atau targetnya menggagalkan rencana aksi 212," ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (23/11).
Menurut dia, langkah-langkah Kapolri tidak menjawab persoalan substansial yang dituntut umat Islam. Langkah Tito justru bisa dimaknai sebagai operasi adu domba antarumat Islam. Dia mengatakan seharusnya Kapolri memastikan rasa keadilan yang dituntut umat Islam itu terealisir bukan malah sebaliknya membuat konfrontasi secara terbuka.
Hal tersebut diantaranya menebar opini makar, melarang rencana aksi 212, berusaha membatasi gerak umat Islam dari luar Jakarta untuk gabung dalam aksi 212, bahkan mendatangi simpul-simpul umat yang efeknya kontraproduktif.
Harits menyebut umat Islam fokus menuntut keadilan sehingga akan datang dari berbagai penjuru daerah NKRI. "Mereka hendak hadir di aksi 212 bukan karena soal Ahok harus gagal di pilgub DKI, tapi karena dorongan akidah dan moral mereka, penista agama Islam harus di hukum," ujarnya.
Semua tersangka pelaku tindak pidana harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Jika itu semua tidak terjadi, maka rezim Jokowi dan semua instrumen hukum di bawahnya dinilai telah jelas-jelas membuat umat Islam tidak lagi percaya kepada hukum dan aparaturnya.
Sikap 'akrobatik' Kapolri dinilai justru menjadi stimulan bagi umat Islam untuk menuntut keadilan terhadap kasus Ahok. Umat, kata dia, makin melihat betapa tangan-tangan rezim Jokowi mempermainkan rasa keadilan umat Islam di mana dengan kekuasaan di tanggannya berusaha membungkam geliat umat Islam.