Rabu 23 Nov 2016 01:13 WIB

Sri Mulyani Kecewa Ada Pejabat Pajak Korupsi Saat Tax Amnesty

Red: Nur Aini
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah), bersama Ketua KPK Agus Rahardjo ( kanan),dan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kiri) saat memberikan keterangan pers terkait hasil OTT tersangka kasus dugaan suap di jajaran Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak di
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah), bersama Ketua KPK Agus Rahardjo ( kanan),dan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kiri) saat memberikan keterangan pers terkait hasil OTT tersangka kasus dugaan suap di jajaran Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak di

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kekecewaannya terhadap pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin (21/11) malam.

"Tentu saya sangat kecewa terhadap tindakan aparat pajak terutama pada saat kami semuanya dalam proses membangun kembali kepercayaan wajib pajak melalui tax amnesty, yakni kepercayaan dua belah pihak dari wajib pajak dan aparat pajak," kata Menkeu dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/11).

Menurutnya, tindakan yang dilakukan oknum HS dari Direktorat Jenderal Pajak mencerminkan suatu pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip dan tata kelola yang baik, efektivitas, dan kejujuran yang selama ini menjadi nilai-nilai yang dianut oleh Kementerian Keuangan dalam hal ini Ditjen Pajak. "Ini tindakan yang mencederai nilai-nilai dan tentu mencederai kepercayaan dari kolega-kolega yang lain. Seperti dikatakan pimpinan KPK sebagian besar pegawai Ditjen Pajak adalah aparat yang punya komitmen tinggi untuk membangun kepercayaan publik guna mengumpulkan kewajiban pajak bagi kebutuhan negara ini untuk membangun," tuturnya.

Menkeu menilai hal itu sebagai suatu tindakan pencederaan yang sangat serius dan mengecewakan ke seluruh jajaran aparat Ditjen Pajak. "Termasuk saya sendiri sebagai Menteri Keuangan yang secara pribadi sangat kecewa," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan kronologi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada Senin (21/11) malam. "KPK menggelar OTT terhadap dua orang pada Senin (21/11) di daerah Kemayoran, Jakarta. Kedua orang tersebut adalah R. Rajamohanan Nair (RRN), Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) dan Handang Soekarno (HS), Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak," kata Agus.

Turut juga diamankan tiga orang staf RRN, masing-masing di Tangerang Selatan, Jakarta, dan Surabaya serta satu orang sopir dan ajudan HS. Pada Senin (21/11), pukul 20.00 WIB terjadi penyerahan uang dari RRN ke HS di kediaman RRN di Springhill Residences, Kemayoran. "Seusai penyerahan, penyidik mengamankan HS beserta sopir dan ajudan pada pukul 20.30 WIB saat keluar dari kediaman RRN. Dari lokasi diamankan uang sejumlah 148.500 dolar AS atau setara Rp 1,9 miliar," kata Agus.

Setelah itu, penyidik menuju kediaman RRN untuk mengamankan RRN untuk kemudian membawa keduanya dilakukan pemeriksaan. "Dua staf RRN diamankan di kediaman masing-masing di daerah Pamulang, Tangerang Selatan dan Pulomas, Jakarta Timur. Selain itu penyidik juga mengamankan staf lainnya di Surabaya," tuturnya.

Agus menyatakan uang tersebut diduga terkait dengan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP antara lain terkait dengan Surat Tagihan Pajak (STP) sebesar Rp 78 miliar. "Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam pasca-penangkapan, KPK melakukan gelar perkara antara pimpinan dan seluruh penyidik, dan memutuskan meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sejalan dengan penetapan dua orang sebagai tersangka," ujarnya.

Sebagai pemberi, RRN disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi . Pasal memuat ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

Sebagai penerima, HS disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement