REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai tersangka penistaan agama Islam Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara otomatis tidak bisa ditangkap meski sudah ditetapkan sebagai tersangka. Alasannya menurut Menag, regulasi pascareformasi 1998 berbeda dengan regulasi pada era Orde Baru.
Lukman menjelaskan, di era Orde Baru, terdapat undang-undang surversif yang berlaku. UU ini membuat penguasa bisa melakukan apa saja yang dikehendaki. "Sementara sekarang UU subversif sudah tidak ada karena MK sudah melakukan review atas UU tersebut," kata dia saat di kantor Kemenko Polhukam, Senin (21/11).
Adanya UU subversif itulah yang menurut Lukman, membuat HB Jassin, Permadi, dan Arswendo Atmowiloto tersangkut masalah yang sama, yakni penistaan agama. Kasus mereka terjadi pada rezim di mana kekuasaan itu melekat dengan hukum.
"Sekarang kehidupan makin transparan dan kekuasana tak lagi memusat di tangan presiden. Kekuasaan sudah dipisah-pisah sesuai konstitusi kita. Sehingga, di sini proses hukum tidak persis dengan proses hukum pemerintah yang lalu (orde baru)," ujar dia.
Karena itu, lanjut Lukman, aparat penegak hukum tidak bisa memenuhi begitu saja aspirasi masyarakat yang menginginkan agar Ahok ditangkap karena hukum sedang bekerja. Tidak hanya itu, dunia pun tengah memantau perkembangan proses hukum kasus penistaan agama tersebut.
"Kita semua sepakat, penyelesaian konflik, sengketa, perbedaan, itu musyawarah harus dikedepankan. Tapi jika karena satu hal tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka hukum lah sebagai kesepakatan kita untuk menyelesaikan persoalan ini," kata dia.