Jumat 18 Nov 2016 00:17 WIB
Milad Muhammadiyah

Catatan 104 Tahun Muhammadiyah

Red: M.Iqbal
Ahmad Sholeh, Ketua IMM Jakarta Timur, Anggota Majelis Kader PDM Jakarta Timur, Founder Ulul al-Bab Institute
Foto: Dokpri
Ahmad Sholeh, Ketua IMM Jakarta Timur, Anggota Majelis Kader PDM Jakarta Timur, Founder Ulul al-Bab Institute

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahmad Sholeh, Ketua IMM Jakarta Timur, Anggota Majelis Kader PDM Jakarta Timur, Founder Ulul al-Bab Institute

Sudah 104 tahun (dalam Hijriyah 107 tahun) panji-panji Muhammadiyah yang berlogo matahari dan dua kalimat syahadat melingkar berkibar. Hari ini, tepat 18 November 2016, kita masih patut bersyukur karena Muhammadiyah masih tampil sebagai gerakan pembaruan dan civil society dengan berbagai inovasi gerakannya. 

Muhammadiyah masih istiqomah mengawal kemajuan bangsa dan aktif membina masyarakat, dengan trisula gerakannya (schooling, feeding, dan healing). Yang di abad keduanya, menurut Hajriyanto Tohari, telah bertransformasi dengan adanya trisula baru, yakni penanggulangan bencana, gerakan zakat, dan pemberdayaan masyarakat yang digawangi MDMC, MPM, dan Lazismu. 

Menurut Hajriyanto, trisula lama harus sudah lepas landas, meski kemudian tetap melakukan peningkatan kualitas, dan trisula baru harus digalakkan untuk menjangkau wilayah internasional dan bersifat global.

Di abad keduanya pula, kini Muhammadiyah semakin memperkuat wajah barunya sebagai gerakan Islam berkemajuan. Konon, kata ‘berkemajuan’ bukanlah istilah baru bagi Muhammadiyah, istilah ini pernah diungkapkan Kiai Dahlan dengan istilah ‘majoe’ dan ‘kemajoean’. 

Berbeda pula dengan istilah Islam Nusantara yang terdikotomi oleh kultur lokal dan letak geografis, istilah ‘berkemajuan’ menurut Din Syamsuddin, lebih kepada wilayah pemikiran, gagasan, visi, dan tujuan yang bersifat maju, tidak terkurung oleh ruang dan waktu (Najib Burhani, 2016). 

Maka kemudian, proses perwujudan wajah baru tersebut memang belum sepenuhnya tampak, karena secara konsep pun masih harus dirumuskan. Dalam jangkauan apa kemudian Islam Berkemajuan bisa dijadikan bukan sekadar jargon, tetapi menjadi corak dan tipikal atau karakter gerakan Muhammadiyah ke depan.

Hal itu mungkin juga menjadi salah satu alasan tema “Membangun Karakter Indonesia Berkemajuan” diusung dalam gelaran Milad ke-104 Muhammadiyah. Tak lain adalah salah satu upaya pencarian wajah gerakan berkemajuan tersebut. 

Prof Dadang Kahmad, salah satu Ketua PP Muhammadiyah mengatakan bahwa Muhammadiyah akan fokus kepada pengembangan dan peningkatan mutu amal usaha. Salah satu gagasan baru yang ditawarkan adalah pembentukan holding company, sebagai bentuk peningkatan gerakan di sektor ekonomi. 

Tentu tujuannya adalah untuk memajukan kehidupan bangsa. Seperti yang kita tahu, Muhammadiyah telah berupaya keras memajukan kehidupan, dengan gerakan-gerakannya yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan sebagainya.

Muhammadiyah masa awal

Dahnil Anzar Simanjuntak, ketua PP Pemuda Muhammadiyah, menyebut Muhammadiyah generasi awal dengan istilah Muhammadiyah al-awwalun (Rusdianto [ed], 2015). Dahnil juga menyebutkan bahwa kata kunci gerakan Muhammadiyah adalah “menggembirakan”, yakni dakwah yang menggembirakan, Islam yang menggembirakan, dan sebagainya. 

Dengan alasan itulah kemudian Muhammadiyah perlu melakukan mengupayakan dan posisinya sebagai gerakan dakwah dengan prinsip amar makruf nahi mungkar. Gerakan Muhammadiyah masa awal, populer dikenal dengan istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah, dan c/khurafat), yang juga merupakan respons terhadap perilaku kegamaan masyarakat Jawa (Yogyakarta) yang pada waktu itu lebih bersifat ritualistik-sinkretis. Yang mencampuradukkan perilaku budaya peninggalan Hindu-Buddha dengan ajaran dan ritual peribadatan Islam.

Selain itu, Muhammadiyah juga dikenal dengan gerakan sosialnya, yang dikatakan oleh Munir Mulkhan sebagai gerakan sosio-ritual. Yang berarti ritual keagamaan yang dimanifestasikan ke dalam bentuk gerakan sosial. 

Seperti teologi Al-Maun yang sangat populer dan familiar di kalangan Muhammadiyah. Dahulu, Kiai Dahlan beserta murid-muridnya mengumpulkan anak-anak jalanan untuk kemudian dimandikan, diberi makan, dan diajak belajar. 

Ini pula yang kemudian menjadi trisula gerakan Muhammadiyah -meminjam istilah Hajriyanto Tohari- yakni schooling, feeding, dan healing. Dalam bentuk sekolah, rumah sakit, dan panti. Karena itulah kemudian Muhammadiyah dikategorikan sebagai gerakan Islam puritan yang melakukan purifikasi atau pengembalian kepada sumber Islam (Alquran dan sunah), dan Islam progresif yang mengupayakan adanya transformasi dan perubahan sosial dengan kesadaran teologisnya.

Seabad gerakan Muhammadiyah

Seabad gerakan Muhammadiyah yang bertepatan dengan masa Din Syamsuddin sebagai ketua umum diperingati besar-besaran, bahkan tak pelak menuai kritik dari dalam diri Muhammadiyah sendiri. Ada yang menilai bahwa peringatan milad seadab Muhammadiyah yang digelar di Gelora Bung Karno tersebut berlebihan dan terkesan ‘buang-buang uang’. 

Namun, patut diakui, di balik kritikan dan bahkan sinisme itu, gelaran milad seabad Muhammadiyah tersebut berhasil melibatkan jutaan kader dan simpatisan (yang merasa dirinya) Muhammadiyah dari berbagai daerah dan pelosok. Yang semuanya tumpah ruah di Ibu Kota. 

Begitupun dengan panitia penyelenggara melibatkan civitas akademica dari berbagai sekolah dan kampus-kampus (PTM) di Jakarta, yang waktu itu penulis menjadi salah satu panitia teknis yang mewakili Uhamka.

Tentu, gelaran seabad Muhammadiyah itu bukan sekadar euforia belaka. Melainkan juga sebuah refleksi terhadap pencapaian persyarikatan Muhammadiyah selama satu abad. Sekaligus juga meneropong kembali, strategi apa yang akan dilakukan untuk menjelang abad keduanya. 

Dengan banyaknya aset dan amal usaha Muhammadiyah yang tersebar di pelosok Nusantara, yang dikelola cabang dan ranting, maka perlu untuk melakukan pemanfaatan dan peningkatan kualitas. Baik itu terhadap wilayah di luar Muhammadiyah maupun bagi tubuh Muhammadiyah itu sendiri.

Berbagai gerakan yang kemudian menjadi agenda-agenda Muhammadiyah salam mengawal kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, telah ditelurkan di usianya yang seabad. Salah satunya, PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem/Umum) yang sempat diganti namanya menjadi Majelis penolong kesengsaraan umat. 

Karena kata ‘umat’ dimaknai dengan golongan atau kelompok tertentu, kemudian pada masa Said Tuhuleley sebagai ketua majelisnya, dikembalikan kepada nama seperti awal dibentuknya dengan penambahan kata majelis, yakni menjadi Majelis Penolong Kesengsaraan Umum alias MPKU. Yang melakukan pemberdayaan sosial tanpa pandang bulu, tanpa pandang suku, golongan, agama, dan warna kulit.

Yang populer dan sempat mencuat di satu abad gerakannya adalah Muhammadiyah melakukan agenda pengawalan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan menyebut Muhammadiyah akan tetap kritis terhadap pemerintah, Din Syamsuddin pun kemudian mengawal itu semua dengan istilah Jihad Konstitusi. 

Jihad konstitusi inilah yang menjadi penyeimbang antara gerakan pemberdayaan dan pendampingan terhadap masyarakat yang dilakukan Muhammadiyah, yakni dengan melakukan pengkajian berbagai kebijakan yang ditelurkan pemerintah. Jadi, Muhammadiyah tidak hanya menyentuh masyarakat di bawah, tapi juga menyentuh sang pemangku kebijakan. Dan banyak lagi gerakan-gerakan yang mampu membawa Muhammadiyah tidak hanya di kancah lokal dan nasional. 

Salah satu upaya lainnya adalah dengan adanya IRCM (International Research Conference on Muhammadiyah) yang dilaksanakan menjelang Muktamar ke-47 di Makassar tempo hari. Konferensi tersebut berusaha menghadirkan para peneliti Muhammadiyah dari berbagai negara (transnasional), yang berasal dari luar dan dari dalam Muhammadiyah sendiri. 

Salah satu yang memang sudah lekat dengan Muhammadiyah dan turut menggagas IRCM adalah Mitsuo Nakamura, emeritus profesor dari Universitas Chiba Jepang, yang sudah mulai meneliti gerakan Islam modernis ini sejak tahun 1976. Dengan penelitiannya yang berjudul “The crescent arises over the banyan tree: a study of the Muhammadijah movement in a Central Javanese town” yang merupakan disertasinya di Cornell University Amerika (Najib Burhani, 2016). 

IRCM kemudian menjadi agenda tahunan yang dimanfaatkan untuk melakukan refleksi terhadap kemajuan dan pergerakan Muhammadiyah kini dan nanti. Selain itu, saya pikir masih banyak kemajuan-kemajuan lain yang juga mewarnai gerakan Muhammadiyah dalam usia keemasannya tersebut. 

Jika memang dihitung sebagai kemajuan tentu kehadiran pimpinan cabang istimewa di luar negeri, seperti di Jepang, Libia, Mesir, Inggris, Amerika, Korea dan lainnya, juga termasuk bentuk kemajuan organisasi ini. Meskipun secara kuantitas kegiatan dakwah masih tetap menyasar orang Indonesia atau keluarga Muhammadiyah, akademisi, dan kader Muhammadiyah di negara-negara tersebut. Namun, setidaknya sudah ada ruang yang pasti untuk menebar dakwah Muhammadiyah yang mengglobal, lebih luas untuk peradaban dunia.

Muhammadiyah abad kedua

Memasuki abad keduanya, Muhammadiyah masih perlu menegaskan corak dan gerakannya. Jika dahulu memegang peran strategis dengan trisula gerakannya, dan kini dengan potensi trisula baru yang dikatakan Hajriyanto Tohari. Maka kemudian Muhammadiyah pun perlu meraba identitasnya sebagai gerakan Islam Berkemajuan. Jika disepakati, misalnya, apa yang disebutkan Din Syamsuddin istilah berkemajuan itu adalah bentuknya gagasan, pemikiran, visi, dan tujuan yang bersifat visioner dan jauh ke depan. 

Maka perlu bagi Muhammadiyah untuk meramu konsep dakwahnya yang lebih maju, yang mungkin kini terlihat dan terkesan ‘balap-balapan’ dengan Nahdlatul Ulama (yang juga organisasi Islam besar di Indonesia) dalam hal kemajuan. Mengingat tantangan ke depan bukanlah lagi tantangan yang hanya bersifat lokal, seperti yang dihadapi Muhammadiyah pada masa awal. Melainkan bersifat global dan transnasional. 

Maka kemudian, cita-cita perdamaian dunia, yang beberapa waktu lalu dimanifestasikan lewat forum WPF (World Peace Forum), tidak hanya berhenti dalam diskursus dan seminar-seminar yang bersifat ritualistik. Tapi bagaimana Muhammadiyah bisa mengambil peran strategisnya di berbagai aspek kehidupan dengan pengembangan dan peningkatan mutu amal usahanya. Misalnya, dengan mendirikan perguruan tinggi internasional, membangun rumah sakit di luar negeri seperti di daerah rawan perang, maupun meningkatkan dakwah-dakwah di negeri minoritas Muslim, seperti Eropa dan Amerika, dan lain sebagainya.

Penutup

Akhir kalam, Muhammadiyah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok serta ke depannya harus lebih baik lagi. Itulah sejatinya gerakan dakwah yang selalu menemui jalan mendaki, dengan tantangan yang juga mungkin semakin curam dan terjal. Dengan segenap optimisme mari kita sambut milad ke-104 Muhammadiyah dengan membangun spirit dakwah amar makruf nahi mungkar. Dengan ikhtiar untuk tetap hadir di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi solusi bagi problematika sosial dunia, serta membawa prinsip rahmatan lil ‘alamin dan visi kemanusiaan universal. Selamat milad Muhammadiyah, jayalah. Wallau a’lam.

Referensi

Burhani, Ahmad Najib. 2016. Muhammadiyah Berkemajuan; Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme. Bandung: Mizan.

Mulkhan, Abdul Munir, Robert W Hefner, & Sukidi Mulyadi. 2008. Api Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Multipress.

Rusdianto (ed). 2015. Muhammadiyah “Ahmad Dahlan”. Yogyakarta: Global Base Review.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement