Kamis 17 Nov 2016 00:01 WIB

Cukup Sudah Ribut-Ribut Kasus Ahok!

Noor Huda Ismail
Foto: dokpri
Noor Huda Ismail

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Noor Huda Ismail *

Hari Rabu (16/11) pagi, Kepolisian Republika Indonesia (Polri) telah memutuskan Ahok sebagai tersangka “penistaan agama” seperti yang dituntutkan oleh demonstran pada demonstrasi 4 November lalu. Akankah para suara para demonstran itu tetap akan solid?

Meskipun matian-matian, gerakan ini melakukan “pencitraan” sebagai sebuah gerakan yang  satu komando, sejarah mengajarkan bahwa hampir dalam semua gerakan sosial seperti gerakan reformasi 1998 di Indonesia atau Umbrella Revolution di Hong Kong atau Occupy The Wall Street di Amerika itu tidak pernah ada yang satu suara.

Ibarat sebuah pertunjukan, maka akan ada pemain utama, pemain figuran, penonton, naskah cerita, dan yang tak kalah pentingnya adalah peran sutradara. Oh ya, jangan lupa akan ada juga pemain gelap yang menjadi peselancar isu dan menikmati dari aksi mereka ini.

Oleh karena itu, kita harus melihat dalam semua gerakan sosial itu, termasuk gerakan anti-Ahok, akan ada beragam mozaik motif: ada yang ikut karena rasa kecewa, marah dan dendam kepada kebijakan Ahok. Barangkali, kelompok ini diwakili oleh para korban penggusuran warga di Bukit Duri.

Mereka adalah “wong cilik” yang secara tradisional aspirasi politik mereka dekat kepada PDI-P yang mengaku sebagai partainya “wong cilik”. Celakanya, hari ini PDI-P justru mendukung Ahok. Hari ini, para korban evakuasi ini percaya teori konspirasi bahwa ada kekuatan bisnis Taipan di belakang kebijakan Ahok tersebut.

Tidak dapat dipungkiri pula ada ribuan yang berdemonstrasi karena merasa berdemonstrasi itu adalah cara mereka membela agamanya. Oleh karena itu, tidak benar bahwa semua peserta demonstran itu bayaran ataupun anarkis seperti yang sering dituduhkan, terutama media yang pro-Ahok.

Ini terekam dalam laporan NET TV yang mengangkat cerita seorang pasangan pengantin warga keturunan Cina yang bahkan dibantu oleh para demonstran untuk memasuki gereja Katedral dan menjalan pernikahan mereka sampai akhir. Misa gereja pun berjalan seperti biasanya.

Namun, proses “pembelaan” atas agama ini pula telah menjadikan orang Islam di Indonesia terpecah seolah-olah menjadi dua kubu yang harus berhadap-hadapan antara pihak yang “pro” dan “kontra”.

Lalu di mana posisi orang yang tidak suka Ahok dan juga Habib Rizieq?  Kejadian ini seolah-olah membuka luka lama ketika pemilu presiden lalu.

Dengan maraknya media sosial, terutama dengan adanya kelompok WhatsApp , proses distorsi informasi menjadi sangat masif yang seolah-olah muncul kesan seolah-olah “radikalisme” itu ada di mana-mana. Kebinekaan yang menjadi modal utama bangsa Indonesia untuk maju, menjadi terasa terus menerus digerus oleh kelompok intoleren dan diskriminatif. Kemajemukan akan diubah menjadi penyeragaman.

Kelompok inilah yang paling rawan untuk dimanfaatkan oleh para kelompok yang memang mencari hidup dari industri kebencian atas nama demokrasi. Ibarat bermain biliar, Ahok itu hanya sasaran antara dan Jokowi adalah sasaran bidik utama. Sehingga agenda gerakan ini lebih politis daripada agamis.

Memainkan kartu Islam itu mempunyai memang daya jual yang tinggi dalam dunia politik di Indonesia. Namun sejarah telah mengajarkan pula bahwa bermain dengan jualan seperti ini sangatlah mahal harganya karena Islam itu akan berdimensi melampaui batas negara. Baik itu Islam yang bersifat damai maupun yang mengadopsi kekerasan. Misalnya saja terlihat dengan munculnya gambar peti mati untuk Ahok yang diunduh di media sosial oleh warga Indonesia yang bergabung dengan kelompok pemberontak di Suriah.

Barangkali, kita harus membaca tudingan penistaan agama itu hanyalah sebuah pemantik dari sebuah akumulasi permasalahan sosial-politik dan ekonomi yang menyelimuti kepemimpinan Ahok selama menjadi gubernur dan juga warisan permasalahan sosial politik masa lalu, jauh sebelum Ahok.

Dalam kaca mata kajian politik modern, Ahok sebagai gubernur kota Jakarta, yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah bukti bahwa Indonesia sudah sangat maju dalam berdemokrasi setelah reformasi. Ahok seolah-olah menjadi simbol baru lahirnya politik berdasarkan prestasi sebagai pola politik modern yang muncul setelah sistem pemerintahan otoritarian ala Suharto.

Apalagi, Ahok adalah politikus di luar establishment sistem perpolitikan di Indonesia. Ia hanya anak daerah yang datang ke Ibu Kota. Ahok adalah warga keturunan Cina dan beragama Kristen. Maka ia pun menjadi triple minority.

Suka atau tidak, yang juga luar biasa adalah sebelum dicalonkan oleh PDI-P untuk kembali maju menjadi gubernur periode selanjutnya, Ahok bersama Teman Ahok berhasil mengumpulkan dukungan KTP tidak kurang dari satu juta untuk mendukungnya maju sebagai calon gubernur secara independen. Ironisnya, Ahok mempunyai mulut yang kasar dan ceplas-ceplos yang menggundang banyak musuh dan kebencian.

Kesimpulannya, libido politik sesaat melengserkan Jokowi itu adalah syahwat yang harus dikekang. Jika tidak, maka demokrasi kita akan mundur paling tidak 20 tahunan ke belakang. Lebih baik, silakan merapatkan barisan dan lawanlah Jokowi pada pemilu yang tinggal dua tahun lagi.  Cukup sudah potensi umat yang sudah termubazirkan dalam gaduh politik Jakarta ini. Padahal Indonesia bukan hanya Jakarta!

* Penulis adalah pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian dan Kandidat PhD Monash University Australia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement