REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mengungkapkan, bencana banjir yang terjadi di Kota Bandung merupakan akumulasi dari kesalahan pola urus tata ruang dan wilayah selama kurang lebih 30 tahun. Selama tiga dasawarsa itu, pembangunan yang dilakukan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keberlanjutan aliran sungai.
"Karakter banjir Kota Bandung lebih banyak karena salah urus ruang dan wilayah yang sudah dilakukan sejak 30 tahun lalu," ujar Direktur Walhi Jawa Barat, Dadan Ramdan kepada Republika, Rabu (16/11).
Akibatnya, banyak lahan resapan yang hilang karena situ beralih fungsi dan sungai yang dulu hidup kini menjadi mati. Keberadaan sempadan sungai bukan lagi sebagai wadah air, namun untuk usaha dan pemukiman warga.
Menurut Dadan, berbagai program jangka pendek mengatasi banjir di Bandung yang dilakukan oleh Pemerintah Kota sudah benar. Namun tidak akan menjawab permasalahan banjir.
"Kota Bandung darurat lingkungan, daya tampung sudah tidak memadai, daya dukung ruang seperti sungai sudah berkurang, kapasitas sungai tidak bisa lagi menampung air," ucapnya.
Dadan mencontohkan Sungai Citepus yang kini tidak bisa menampung aliran air ketika hujan deras, salah satunya disebabkan tempat menampung (resapan) air di wilayah utara tidak ada akibat pembangunan. Bahkan, wilayah Kawasan Bandung Utara sudah semakin rusak.
"Dalam RTRW proposi untuk Ruang terbuka hijau sangat kecil, yang ada semangat RTRW itu membangun terus. Kita minta revisi, berhenti sejenak untuk membangun (ke arah) yang lebih brutal," ungkapnya.
Menurutnya, jika tata ruang semakin buruk, maka potensi bencana akan semakin sering terjadi. Kata dia, saat ini, pembangunan di Kota Bandung tidak dilakukan oleh warga, tapi pembisnis properti yang berasal dari Jakarta atau Surabaya.