REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pemerintah Provinsi Bali terus mengampanyekan konsumsi buah lokal di Pulau Dewata. Bali menjadi provinsi yang komitmen melestarikan buah lokal melalui pemberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 03 Tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal.
Tujuan perda ini untuk mendorong peningkatan sektor pertanian buah dan mendongkrak pendapatan petani. Perda ini mewajibkan pengusaha di sektor perhotelan, restoran, dan supermarket memberi tempat untuk memasarkan buah lokal.
Buah lokal dinilai rasanya tidak kalah dari buah impor. "Mengonsumsi buah lokal secara tidak langsung membantu meningkatkan pendapatan petani," kata Wakil Gubernur Bali, Ketut Sudikerta, Selasa (15/11).
Masyarakat Hindu Bali misalnya diajak beralih menggunakan buah lokal sepenuhnya dalam upacara keagamaan. Pelestarian buah lokal, kata politisi Partai Golkar ini berarti juga melestarikanplasma nutfah lokal yang potensial dikembangkan.
Untuk mendukung perda tersebut, pemerintah provinsi mengintegrasikan program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri). Pertanian buah-uahan di subsektor hortikultura bisa mendapat dukungan maksimal.
Buah-buahan di Bali bukan hanya untuk ritual keagamaan, tapi juga sektor pariwisata, makanan dan minuman yang dipasarkan ke luar pulau bahkan diekspor. Kondisi geografis Bali juga cocok untuk ditanami aneka buah.
Ahli pertanian Universitas Udayana, Wayan Windia sebelumnya mengatakan Bali memiliki buah lokal spesifik yang berbeda dari daerah lain, misalnya salak dan manggis. Buah-buah tersebut bisa ditawarkan kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata. "Wisatawan yang datang ke Bali pastinya ingin menikmati buah lokal," katanya.
Pertanian di Bali, kata Windia sangat erat dengan identitas sosial budaya masyarakatnya. Buah lokal diperoleh sesuai semangat Tri Pramana di mana masyarakat menanam buah dan memetik hasilnya di lokasi yang menjadi bagian dari sistem sosial budaya turun temurun di sebuah wilayah.