Senin 14 Nov 2016 10:09 WIB

Pengeboman Gereja di Samarinda Tindakan Keji

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Damanhuri Zuhri
Personel Brimob Polda Kaltim mengamankan lokasi ledakan bom di Gereja Oikumene Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (13/11).
Foto: Antara/Amirulloh
Personel Brimob Polda Kaltim mengamankan lokasi ledakan bom di Gereja Oikumene Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (13/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia menyesalkan terjadinya pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur. Siapa pun pelaku dan apa pun agamanya, aksi tersebut dinilai sama sekali tidak merefleksikan nilai-nilai religi.

"Dalam Islam, misalnya, melakukan tindak perusakan ke rumah ibadah dan melancarkan kekerasan terhadap anak-anak merupakan dua tindakan yang dilarang keras, bahkan dalam situasi perang sekali pun," kata Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak LPA Indonesia, Reza Indragiri Amriel, Senin (14/11).

Setelah kelompok-kelompok teror belakangan ini terindikasi melakukan perekrutan terhadap anak-anak, dia berharap jangan sampai para manusia haus darah itu kini juga menyasar anak-anak sebagai sasaran mereka. "Trauma, apa pun sumbernya, niscaya menyakitkan, tapi trauma yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia (bencana kemanusiaan) berdampak lebih buruk ketimbang bencana alam," ujarnya.

Untuk itu, korban, khususnya anak-anak, membutuhkan penanganan komprehensif. Sebagaimana anak mengandalkan orang tua mereka sebagai pelindung, keluarga pun mengharapkan kehadiran otoritas terkait sebagai pemberi jaminan keamanan.

Menurut Reza, semakin cepat dan efektif penanganan oleh otoritas berwenang, dan langkah-langkah penanganan itu disaksikan keluarga korban, maka akan semakin solid pula pondasi bagi pulihnya kondisi anak-anak yang menderita trauma.

"Tindakan kekerasan seperti di Samarinda, apalagi jika secara sengaja ditujukan pada anak-anak, merupakan kejahatan yang sangat keji," kata dia. Kekerasan dalam operasi pemberantasan teror, seperti yang disaksikan oleh anak-anak TK di Klaten beberapa waktu lalu, juga pada dasarnya bukan sesuatu yang bisa ditoleransi. Keduanya masalah serius.

Namun, menurut Reza, masyarakat pun jangan menyepelekan efek kekerasan verbal dan psikis terhadap anak-anak, termasuk kekerasan di masyarakat berupa penghinaan dan ungkapan-ungkapan peyoratif lainnya.

Misalnya, seperti yang kerap diperagakan oleh sebagian elite yang kian marak pada masa kontestasi politik. Kekerasan lisan di masyarakat barangkali tidak seketika memunculkan guncangan psikis. Tapi sebaliknya, apabila kekerasan semacam itu dibiarkan, maka dapat memberikan pembelajaran kontraproduktif kepada anak-anak bahwa kekerasan psikis dan lisan ternyata merupakan bentuk perilaku yang dimaklumi.

Qommarria Rostanti

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement